Pohon Sagu dan Lingkungan

Posted by Restorasi Gambut on

Subsidensi Tanah


Subsidence akan terjadi setelah lahan gambut dikeringkan, dan prosesnya terjadi sangat cepat. Subsidence sekitar 20–50 cm/ tahun − 1 selama bangunan awal dari jaringan drainase (Welch dan Nor 1989).

Agus dan Subiksa (2008) menjelaskan bahwa proses subsidence terdiri dari empat
komponen:

  1. Konsolidasi: gambut berkonsolidasi karena pengaruh drainase. Menurun Ketinggian air di tanah gambut akan meningkatkan tekanan gambut di atas permukaan tanah dibandingkan dengan gambut di bawah permukaan air. Karena itu, gambut menjadi kompak.
  2. Lyses: penurunan volume gambut di atas permukaan tanah air karena drainase proses.
  3. Dekomposisi: penurunan volume gambut karena proses dekomposisi dari kondisi aerobik.
  4. Pembakaran: menyebabkan penurunan volume gambut.
Pembukaan lahan untuk tujuan pertanian biasanya disertai dengan pengeringan lahan gambut. Drainase berdampak negatif terhadap tanah dengan menurunkan tingkat tanah, yang memicu ketidaktepatan lahan untuk penggunaan pertanian. Tingkat tanah di lahan gambut dapat dikurangi dengan 3 m dalam 30 tahun (Bintoro et al. 2013).

Perkebunan Sagu dapat menjadi solusi atas degradasi lahan gambut karena adanya pemeliharaan tingkat air. Pohon sagu tumbuh optimal di rawa dan tergenang air kondisi dan lahan gambut (Bintoro dkk. 2013). Selama masa pertumbuhan, pohon sagu perlu kondisi basah, seperti yang ditunjukkan oleh warna hijau daun, untuk menghasilkan pengisap. Karena pemeliharaan tingkat air selama pohon sagu masa pertumbuhan, degradasi lahan gambut dapat dihindari.

Konservasi Air

Konservasi lahan gambut adalah penting karena terjadi penurunan gambut di daerah beberapa bagian dari Indonesia. Pada tahun 1952, Pulau Petak Delta memiliki 51.360 ha lahan gambut; Namun, pada tahun 1972, lahan gambut di area yang sama telah berkurang menjadi 26.400 ha dan lebih lanjut menyusut ke 9600 ha pada tahun 1992 (Sarwani dan Widjaja-Adhi 1994).

Pertumbuhan pohon sagu adalah solusi untuk mengatasi degradasi lahan gambut karena tidak perlu drainase tanah dan mereka mentolerir genangan air. Pohon sagu dapat menghemat tanah air karena tanaman membutuhkan kelembaban tanah yang tinggi. Area yang terkadang banjir cocok untuk pohon sagu. Area untuk pohon sagu harus menghemat tanah yang tinggi kelembaban; namun, jika area tersebut akan digunakan untuk tanaman lain, air harus dikeringkan pergi ke sungai atau laut.

Areal sagu memiliki air yang melimpah; manusia, ternak,dan vegetasi / tanaman membutuhkan air (Bintoro dkk. 2010). Budidaya kelapa sawit di lahan gambutTanah tidak hanya akan menghemat air tetapi juga tanah, sehingga lingkungan akan menjadi terawat.

Penyerapan CO2

Perubahan iklim dapat dikurangi dengan praktik pertanian dan budidaya pohon sagu. Kemampuan pohon sagu untuk menyerap CO2 penting untuk dipelihara lingkungan. Menurut Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 2006, mengenai kewajiban energi nasional untuk menurunkan emisi hingga 17% pada 2025, langkah yang dapat diterapkan dalam menghadapi perubahan iklim termasuk konservasi hutan, laut, dan daerah pertanian, yang dapat menurunkan emisi CO2 dan mengurangi efek rumah kaca.

Rawa dan lahan gambut terkait dengan pemanasan global. Ini karena berawa daerah dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar, yang dapat menurunkan emisi gas di Atmospher. Lahan gambut terbuka memaparkan permukaan tanah ke matahari, yang memicu pelepasan emisi CO2 dan CH4 ke atmosfer. Meningkatnya jumlah CO2 dan CH4 dapat memicu efek rumah kaca, meningkatkan suhu, dan naiknya air laut


Menurut Bintoro dkk. (2010), emisi gas CO2 dan CH4 dari lahan gambut bervariasi dari 25–200 mgm2–1 h − 1, dan laju fotosintesis sagu adalah 22 mg CO2 dm2–1 h − 1. Menurut perhitungan, pohon sagu dapat menyerap 240 mt CO2 ha − 1 tahun − 1. 
Pohon sagu juga mendukung lahan gambut dalam menyimpan karbon dan meminimalkan efek rumah kaca. Pohon sagu mencakup 5.259.538 ha di Papua dan Papua Barat provinsi dan dapat menyerap sekitar 1.262.289.120 mt CO2 (Bintoro dkk. 2010). Selain itu, pohon sagu memiliki penyerapan CO2 tertinggi dibandingkan dengan yang lain tanaman (Bintoro et al. 2010), seperti yang ditunjukkan pada Tabel.

Previous
« Prev Post