Diagnosis Kesulitan Belajar

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan adalah menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya serta suasana yang kondusif bagi siswa untuk dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin, sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan sesuai pula dengan lingkungan yang ada. Salah satu indikasi keberhasilan yang dapat dicapai siswa adalah terkuasainya materi yang dipelajarinya secara tuntas dan mendapatkan prestasi yang memuaskan.
Dalam kenyataan sehari-hari banyak di temui sejumlah mahasiswa yang mendapatkan prestasi hasil belajar jauh di bawah ukuran atau batas minimal yang diharapkan, misalnya angka rata-rata yang dicapai di kelas dan tingkat penguasaan yang telah ditetapkan menurut kurikulum yang ada. Disamping itu banyak juga ditemui mahasiswa yang mempunyai prestasi besar, namun kenyataan yang dijumpai hasil belajarnya lebih rendah dari apa yang diharapkan.
Pengetahuan tentang langkah-langkah diagnosis kesulitan belajar merupakan suatu upaya sistematis dalam membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, mendiagnosis kesulitan belajar ialah mencari faktor-faktor penyebab kesulitan belajar yang dialami siswa dalam kegiatan pembelajaran. Maka usaha untuk menemukan sebab-sebab kesulitan belajar dinamakan diagnosis kesulitan belajar atau segala usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis sifat kesulitan belajar.
Pengetahuan tentang jenis kesulitan belajar harus dijadikan dasar dalam memberikan pengajaran perbaikan. Makin tepat kita menditeksi kesulitan belajar seseorang, maka makin tepat pula merencanakan dan melaksanakan pengajaran perbaikan. Oleh karena itu setiap dosen di tuntut untuk memahami prinsip-prinsip dan langkah-langkah pokok dalam mendiagnosis kesulitan belajar, merencanakan pengajaran perbaikan, dan mencobakan dalam menolong mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam belajar.
Kedudukan diagnosis kesulitan belajar dalam pengajaran sangat penting guna menelaah, meneliti dan mencari letak permasalahan yang dialami oleh mahasiswa di dalam belajar. Sehingga dapat dirancang pengajaran yang memungkinkan mahasiswa mencapai ketuntasan dalam belajar. Ketuntasan mahasiswa menguasai materi yang dipelajarinya sebagai kriteria keberhasilan belajar.
Kemampuan yang dituntut untuk dapat melaksanakan kegiatan diagnosis kesulitan belajar adalah melakukan prosedur atau teknik dan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Identifikasi mahasiswa yang diduga mengalami kesulitan belajar dengan cara
a. Menandai dalam satu atau kelompok yang diperkirakan mengalami kesulitan melalui hasil belajar yang diperolehnya
b. Membandingkan posisi atau kedudukan mahasiswa dalam kelompok atau dengan kriteria tingkah keberhasilan yang telah ditetapkan untuk satu mata kuliah atau bahan pelajaran tertentu
2. Melokalisasi dan sifat kesulitan belajar
3. Melokalisasi faktor-faktor dan sifat yang menyebabkan mereka mengalamai kesulitan dalam belajar
4. Perbaikan kemungkinan bantuan
5. Penetapan dan cara-cara mengatasi kesulitan dalam belajar





BAB II
PEMBAHASAN


A. Mengidentifikasi Mahasiswa
Diagnosis kesulitan belajar yudi jurusan pendidikan agama islam semester IV (empat) konsentrasi sejarah kebudayaan Islam (SKI) jumlah mata pelajaran yang diambil yaitu sebanyak 10 mata kuliah diantaranya yaitu : bahasa inggris, bahasa arab, sejarah islam asia tenggara ???????????????????????????????
Hasil diagnosis belajarnya yaitu sebabai berikut

B. Melokalisasi dan sifat kesulitan belajar
Di identifikasi aspek yang mengalami kesulitan belajar terdapat pada aspek pengetahuan dan pengamatannya. Misalkan :
- Yudi pada mata kuliah bahasa inggris belum menguasai kosa kata dan grammar dalam bahasa inggris
- Hasil mid smester dalam mata kuliah bahasa inggris selalu mendapatkan nilai yang kurang memuaskan bahkan dibawah nilai rata-rata anggota di kelasnya
- Intelegensi bakat dan minat belajarnya sering tidak mengerjakan tugas
- Hasil wawancara dengan dosen misalnya ”Yudi sering terlambat dan jarang aktif di lokal”

C. Melokalisasi faktor-faktor dan sifat yang menyebabkan mereka mengalamai kesulitan dalam belajar
Yang menjadi kesulitan belajar yudi adalah sebagai berikut :
- Faktor dalam diri yudi adalah :
1. Faktor kemampuan
2. Bakat
3. Minat
4. Sikap
5. kebiasaan belajar
6. penguasaan materi pelajaran
- Faktor luar diri yudi adalah :
1. Saranan belajar
2. Dosen ’
3. Kurikulum
4. Keadaan lingkungan sekitar yang kurang mendukung
Adapun diantrara penyebab kesulitan belajar yudi adalah faktor diri dan faktor luar diri yudi tersebut adalah
- Faktor dalam diri yudi yaitu faktor sikap kebiasaan belajar yang kurang bagus diantaranya yaitu :
1. Sering tidak mengerjakan tugas
2. Tidak mau bertanya kepada dosen tentang perihal yang tidak dipahami atau yang kurang dimengeri
- Faktor luar diri yudi yaitu : faktor pemahaman yang rendah
1. Tidak memahami grammar sejak dibangku sekolah
2. Dosen mengajar terlalu cepat sehigga sulit untuk dipahami
3. Tidak punya buku pelajaran
Dari gambaran diatas maka bentuk bantuan yang paling tepat di berikan adalah
1. Koseling untuk masalah kesulitan yudi dalam memahami grammar dan kosa kata dalam bahasa inggris (pelaksana penasehat akademis)
2. Pengajaran perbaikan menjaga agar kesulitan belajar tidak di alami lagi pelaksana dosen mata kuliah

D. Perbaikan kemungkinan bantuan
Setelah di telaah tentang kesulitan belajar yang dialami yudi jenis dan sifat kesulitan dengan berkurangnya faktor-faktor yang menyebabkannya, maka perkiraan bantuan yang akan diberikan adalah sebagai berikut :
- Memberikan pengajaran perbaikan
- Bantuan yang diberikan oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan
- Yang dilibatkan dalam pemberian bantuan bisa dengan menggunakan tutor sebaya

E. Rencana bantuan ini hendaknya berisi
1. Tata cara yang harus di tempuh untuk menyembuhkan kesulitan yang dialami oleh yudi
2. Menjaga agar kesulitan serupa yang dialami jangan sampai terulang kembali

BAB III
PENTUP


Kesimpulan
Dari hasil diagnosis kesulitan belajar diatas maka dapat di ketahui bahwa fakor-faktor kesulitan belajar pada yudi yaitu terdapat pada faktor internal dan fakor internal dari diri yudi itu sendiri, proses yang dapat diberikan dapat berupa
- pengajarn perbaikan
- bantuan di berikan oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan dan
- yang dilibatkan dalam pemberian bantuan bisa menggunakan tutor sebaya

Saran
Diharapkan kepada yudi agar bisa belajar lebih giat lagi dan memperhatikan pelajaran yang diajarkan oleh dosen yang bersangkutan, supaya kegagalan dalam belajar tidak terulang lagi. Kemudian untuk bisa lebih aktif lagi di lokal dan bertanya apabila pelajaran atau mata kuliah yang dipelajari tidak dimengerti.
Untuk dosen pembimbing agar lebih memperhatian lagi mahasiswanya yang mengalami kesulitan dalam belajar, dan dalam menjelaskan pelajaran diharapkan lebih lambat lagi supaya mahasiswa dapat mengerti tentang apa yang di ajarkan oleh dosen tersebut.

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI, Bisakah Lestari?


I. PENDAHULUAN

Hutan merupakan suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didominasi oleh pohon atau vegetasi berkayu, yang mempunyai luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mkro dan kondisi ekologi yang spesifik. Hutan pada hakekatnya adalah salah satu faktor ekologi di dalam sistem pendukung kehidupan makhluk hidup termasuk pendukung kehidupan manusia.

Dalam rangka memanfaatkan hutan secara optimal, pemerintah RI telah membagi kawasan hutan menjadi beberapa kategori atau status, yaitu dari 120 ha kawasan hutan di Indonesia, 58 juta ha atau 48% adalah kawasan hutan Produksi, 33,5 juta ha atau 28% merupakan kawasan Hutan Lindung, 20,5 juta ha / 17% : kawasan Hutan Konservasi, dan 8 juta ha / 7% : kawasan hutan yang dapat dikonversi (Paduserasi TGHK dan RTRWP, 1999). Tapi dalam kenyataannya pembagian tersebut sulit diimplementasikan dengan baik. Pelbagai pelanggaran dan perusakan hutan terjadi di mana-mana, sehingga pembagian tersebut hanya tertera dalam kertas.

Diskursus tentang hutan dan kehutanan di Indonesia seakan tak pernah lekang ditelan zaman. Dari masa ke masa hutan selalu menjadi salah satu obyek yang mengundang para pihak untuk menetapkan sistem dan mekanisme pengaturannya. Konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan sebagai sebuah sumber daya publik telah diatur sedemikian rupa sehingga potensi dan fungsinya dapat termanfaatkan secara adil dan merata bagi pemenuhan kepentingan para pihak.

Persoalannya, konsep yang seringkali bersifat normatif tidak selalu sesuai dengan dinamika realitas faktual. Pembangunan kehutanan yang secara konseptual ditujukan untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik memang dapat dicapai, namun pencapaian tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Secara ekonomis, meskipun pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari peningkatan investasi dan penerimaan devisa mengalami peningkatan pesat, namun dalam proses redistribusinya ternyata justru hanya dinikmati sebagian kecil kalangan. Sementara mayoritas masyarakat yang berada pada posisi hirerarki menengah ke bawah tidak memperoleh manfaat sepadan.

Dinamika pembangunan ekonomi di masa lalu hingga sekarang telah meningkatkan akselerasi kerusakan hutan yang seringkali tidak hanya bersifat linear tetapi juga eksponensial. Akibatnya jelas, hutan terus mendapat tekanan kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial, konversi di berbagai tingkatan yang mempercepat laju degradasi dan deforestasi. Termasuk berbagai dampak sosial dan ekologinya.

Kelestarian sumber daya hutan merupakan ideologi universal yang wajib dianut oleh semua pihak dan menjadi pemahaman umum yang diterima oleh semua kalangan yang harus diwujudkan dalam setiap praktek pengelolaan hutan. Sumber daya hutan harus mampu memberikan manfaat yang minimal sama baik manfaat ekonomi, fungsi ekologi dan sosial kepada publik secara lintas generasi. Karenanya, setiap bentuk pengelolaan dan pemanfaatan atas sumber daya hutan harus senantiasa bertumpu pada prinsip kelestarian fungsinya.

II. HUTAN PRODUKSI

Klasifikasi fungsi hutan disusun untuk kepentingan pengelolaan hutan. Dasar penggolongan hutan untuk penyusunan klasifikasi hutan secara umum berdasarkan pada: komposisi jenis, komposisi umur, kerapatan tegakan dan tipe hutan. Klasifikasi hutan yang ada biasanya untuk menentukan teknik-teknik silvikultur. Meskipun dalam Undang-undang no.41 tahun 1999 tentang Kehutanan hanya dikenal 1 kategori Hutan Produksi, namun pada tahun 2003 Badan Planologi Kehutanan mengklasifikasikan Hutan Produksi menjadi 3 kategori yaitu : Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Konversi.

Eksploitasi hutan produksi secara besar-besaran yang telah berlangsung sejak tahap awal pembangunan jangka panjang pertama (1969) telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui produk utamanya kayu dan hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti rotan, damar, tengkawang, cendana dan gaharu. Tanpa mengabaikan dampak positif tersebut, eksploitasi hutan alam produksi juga disadari telah memberikan dampak negatif bagi sumberdaya hutan sendiri. Berbagai jenis kayu komersial, bahkan di antaranya termasuk kayu mewah, kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis komersial yang harganya tinggi, tetapi sudah sulit ditemukan di alam dan di pasaran. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.

Kekhasan sumberdaya hutan dengan pohonnya sebagai pabrik biomassa dari aspek ekonomi dan komersial mempunyai daya tarik tinggi, namun justru kelebihan ini membawa resiko besar bila salah dalam pengelolaan. Kegiatan pemanenan kayu dengan cara pembalakan terhadap pohon pada dasarnya adalah penghilangan pabrik biomassa. Sebagai sumber daya, hutan meskipun renewable mempunyai sifat yang terbatas, baik dari daya dukung maupun kapasitas. Karena itu untuk pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal dan lestari harus memperhatikan prinsip pemanenan dengan mengambil sebesar riap (kemampuan tumbuh). Berdasarkan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 28 disebutkan bahwa pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu hanya dapat dilaksanakan di kawasan hutan produksi.

Kriteria dan indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kelestarian hutan produksi yang pertama dan utama yaitu kelestarian produksi kayu, disamping tentu aspek utama lainnya seperti kelestarian ekologis dan kelestarian sosial-ekonomi serta budaya. Mengapa kelestarian produksi begitu penting? Pertama, karena menyangkut kelangsungan ekonomi usaha pengelolaan hutan. Kedua, pada pilar kelestarian ini jaminan kepastian sumberdaya hutan, keberlanjutan ekosistem hutan dan kelangsungan produksi dipertaruhkan. Ketiga, pada pilar kelestarian tersebut bekerja sistem penjaminan kelestarian hutan (sistem silvikultur permudaan hutan dan etat tebangan).

III. PARAPIHAK (STAKE HOLDERS) PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI

FAO pada tahun 1996 dalam basic principles and operational guide lines – national forest prgrammes telah memberi orientasi kebijakan pengaturan melalui redefinisi sektor kehutanan bahwa intinya menyangkut aktifitas manusia atau insan profesional, pengguna, penghuni hutan, orang yang tinggal dan hidup disekitar hutan. Bahwa diperlukan suatu pengaturan akses dan aset sumber daya hutan yang tepat agar pohon, hutan dan kehutanan tetap berada dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan dapat diintegrasikan dengan pertumbuhan ekonomi lokal.

Untuk dapat mewujudkan suatu kesepahaman tentang Pengelolaan Hutan Indonesia terlebih dahulu tentu harus jelas pengertian dari Kesepahaman itu sendiri. Kesepahaman tentang Pengelolaan Hutan Indonesia dapat dipahami sebagai suatu komitmen bersama dari para stakeholders kehutanan mengenai kehutanan di Indonesia. Komitmen bersama ini akan dijadikan sebagai landasan berpikir dan bergerak bagi seluruh pihak dalam pengelolaan kehutanan dan akan berfungsi sebagai pedoman, panduan dan landasan bagi berbagai pihak terkait dalam pengelolaan hutan.

Menurut Higman dkk (2006), stakeholders atau para pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah perusahaan pengusahaan hutan, perusahaan industri pengolahan kayu, struktur Departemen Kehutanan dari pusat sampai kabupaten, pemerintah eksekutif dan legislatif daerah, masyarakat lokal dan penduduk asli, Akademisi, organisasi lingkungan dan sosial. Keragaman stakeholder yang seperti ini sebenarnya juga melahirkan keragaman perspektif jangka waktu juga sekaligus mencerminkan keragaman persepsi terhadap pengelolaan sumberdaya hutan itu sendiri.

Pembuatan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya hutan seringkali menjadi tidak mudah, karena di dalamnya terdapat berbagai pihak yang semuanya ingin dipenuhi kebutuhannya dengan sumberdaya yang terbatas. Sementara itu kebutuhan sumberdaya setiap stakeholder dalam pembangunan seringkali sangat berbeda dan bahkan saling bertentangan satu dengan yang lain yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik antar stakeholders dalam memperebutkan sumberdaya hutan maupun mempersoalkan lingkungan.

Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa persoalan konflik pengelolaan sumberdaya hutan itu terutama berakar pada dua hal, yaitu: (1) kebijakan eksploitasi sumber daya hutan yang dikembangkan di atas sistem yang mengutamakan konsep milik negara (state property) dan mengabaikan konsep milik pribadi (private property) dan milik komunal (communal property), dan (2) penempatan sumberdaya hutan sebagai aset ekonomi atau faktor produksi secara berlebihan. Akar persoalan itu lebih pada tataran struktural, terutama dalam konteks kelembagaan, karena itu resolusi konflik lingkungan dan sumber daya alam harus dibangun dari konteks struktural pula. Pada tataran struktural, resolusi konflik bisa berbentuk rekonsiliasi dan rehabilitasi dalam memulihkan hubungan koeksistensi damai melalui pembenahan institusi sosial dan membangun kembali infrastruktur sosial yang rusak.

Secara garis besar konflik pengelolaan sumber daya hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal (Fisher,dkk, 2000). Konflik vertikal adalah konflik yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan dengan pihak-pihak lain yang dianggap memepunyai otoritas dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pihak-pihak di luar masyarakat tersebut antara lain: Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, BUMN, pengusaha kayu, dan aparat keamanan. Sedangkan konflik horisontal adalah konflik yang terjadi antar kelompok dalam masyarakat sendiri. Konflik ini melibatkan faksi-faksi atau keluarga-keluarga dalam masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda.

Yang termasuk ke dalam golongan konflik vertikal dalam pengelolaan hutan antara lain: (a) konflik tumpang tindih kebijakan; (b) konflik perebutan kewenangan pengelolaan hutan; (c) konflik perebutan hak pemanfaatan hasil hutan; (d) konflik pemanfaatan lahan hutan; (e) konflik karena tidak meratanya distribusi pendapatan dari hasil hutan; dan (f) konflik karena dampak yang ditimbulkan akibat eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Sedangkan yang termasuk golongan konflik horisontal dalam pengelolaan hutan antara lain : (a) konflik dalam pembagian lahan keluarga/desa; (b) konflik dalam pembagian hasil hutan; (c) konflik karena tidak meratanya kesempatan kerja di hutan; dan (d) konflik pemanfaatan sumberdaya hutan seperti kayu bakar, pakan ternak dan hasil hutan non kayu.

Penyelesaian berbagai konflik seperti tersebut di atas bermacam-macam. Biasanya untuk kasus konflik horisontal diselesaikan lewat musyawarah antar warga masyarakat, sedangkan konflik vertikal diselesaikan lewat jalur hukum dan politik. Bahkan, kerap kali dijumpai penggunaan tindakan represif dan kekerasan untuk menyelesaikan konflik vertikal. Hasilnya dapat ditebak bahwa masyarakat sebagai pihak yang lemah banyak menjadi korban akibat tindakan represif ini.

Oleh sebab itu perlu diterapkannya pola kolaborasi pengelolaan karena ada peluang besar untuk menyelesaiakan berbagai konflik tersebut melalui jalur musyawarah antar pihak. Bahwa dipandang penting untuk membuat forum multipihak sebagai wadah para stakeholders untuk berkomunikasi, berkoordinasi dan bermusyawarah menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi bersama.

Penerapan pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan hutan ini diharapkan akan memberikan beberapa dampak positif berikut ini, yaitu:

1. Program pembangunan hutan lebih aplikatif sesuai dengan kondisi fiisik hutan, konteks sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat, sehingga memenuhi fungsi kelestarian hutan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

2. Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab diantara semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga pelaksanaan program pembangunan hutan bisa berjalan efektif dan berkesinambungan.

3. Adanya peran bagi semua stakeholders untuk terlibat dalam proses pembangunan hutan, khususnya dalam hal pengambilan dan pertanggungan jawab keputusan sehingga semua stakeholders kehutanan terberdayakan.

4. Pelaksanaan program kehutanan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat.

5. Adanya transparansi dan keterbukaan akibat penyebaran informasi dan wewenang yang jelas.

6. Pelaksanaan program lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan.

Keenam dampak positif diterapkannya pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan hutan tersebut hanya akan terjadi jika pada pelaksanaannya para stakeholders senantiasa menjunjung tinggi dan mengamalkan prinsip-prinsip kolaborasi. Prinsip-prinsip kolaborasi yang perlu diamalkan dalam pembangunan hutan adalah sebagai berikut :

1. Keterlibatan stakeholders. Adanya keterlibatan semua pihak, baik individu maupun kelompok masyarakat yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan.

2. Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya semua pihak mempunyai ketrampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses pembangunan hutan guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.

3. Transparansi (Transparency). Semua pihak harus dapat menumbuh-kembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog yang produktif.

4. Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power / Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi dalam pengelolaan hutan.

5. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses pembangunan hutan karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.

6. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak dalam pembangunan hutan tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain .

7. Kerjasama (Cooperation). Diperlukan adanya kerjasama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia dan sumber daya modal.

Hambatan-hambatan yang kerap ditemui pada pengelolaan hutan kolaboratif antara lain:

1. Hambatan perilaku. Secara psikologis, aparatur pemerintah seringkali merasa bahwa aparat lebih terhormat dan tinggi statusnya dibandingkan dengan masyarakat desa sekitar hutan. Demikian juga secara psikologis masyarakat merasa bahwa mereka lebih rendah dan kurang pengetahuannya dibandingkan dengan aparat pemerintah.

2. Hambatan kebijakan. Aparatur pemerintahan sudah terbiasa bekerja dengan memakai pedoman aturan yang baku yang bersifat instruktif dan top down. Cara-cara lama dalam pengambilan kebijakan tersebut tercermin dalam bentuk Surat Keputusan, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis yang terlalu rigid sehingga memandulkan kreatifitas pelaksana di lapangan.

3. Hambatan sistem manajemen. Diakui ataupun tidak, sampai saat ini sistem manajemen pengelolaan hutan masih mengikuti model perencanaan konvensional yang bersifat top-down dan sentralistik dan menegasikan konteks dan local specific. Biasanya pimpinan perusahaan di tingkat pusat menyiapkan "cetak biru" untuk dilaksanakan oleh petugas lapangan. Ditambah lagi, masih banyak keputusan, panduan pelaksanaan dan petunjuk teknis yang mempersempit ruang gerak staf operasional di lapangan untuk bisa fleksibel dan berpartisipasi.

4. Hambatan sumber daya manusia. Konsep pembangunan yang berfokus pada masyarakat merupakan konsep baru bagi aparat pemerintah, sehingga butuh waktu untuk sekadar memperkenalkan agar konsep ini bisa dipahami dan diterima ditengah-tengah mereka. Oleh karena itu diperlukan pelatihan untuk membekali mereka dengan pemahaman dan keahlian baru yang akan berguna dalam pelaksanaan program pembangunan.

Untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut maka diperlukan tindakan bersama oleh semua stakeholder :

1. Masyarakat. Anggota masyarakat perlu diberdayakan dengan memegang tanggung jawab lebih besar dalam pengelolaan hutan ketimbang hanya menunggu apa yang disediakan pemerintah dan pemegang ijin hak. Masyarakat bukan lagi berperan sebagai obyek pembangunan kehutanan melainkan menjadi subyek. Oleh karena itu hendaknya masyarakat proaktif terlibat dalam merencanakan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi program-program kehutanan. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan bisa berupa: (a) pembutan kesepakatan bersama dengan Pemegang Ijin hak (IUPHHK/HTI/ISL) tentang hak dan kewajiban dalam pengelolaan hutan; (b) pembuatan rencana mikro pengelolaan hutan; (c) pelaksanaan kegiatan teknis kehutanan mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, pengamanan, dan pemanenan; (d) monitoring tegakan dan penanganan pasca panen.

2. Pemegang Ijin Hak (IUPHHK,HTI,ISL). Pemegang ijin hak harus berperan sebagai fasilitator, menciptakan suasana positif agar semua pihak terkait bisa memberikan konstribusi dalam pengembangan dan pelaksanaan program. Mereka semestinya bertindak sebagai 'pemungkin' (enabler) yang mendorong masyarakat untuk mencari dan menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang muncul, dan bukannya menyediakan jawaban atas semua masalah yang ada. Mereka selayaknya mempertimbangkan perspesktif sosial dan hal-hal teknis serta menghindari dominasi atas berjalannya proses partisipasi dalam pembangunan hutan.

3. Pemerintah Daerah. Lembaga pemerintah di tingkat kabupaten perlu membuat mekanisme penyusunan manajemen, monitoring serta evaluasi untuk mempromosikan penerapan pendekatan partisipatif di tingkat lapangan dan lembaga-lembaga terkait. Staf pemerintah memerlukan keahlian baru guna penerapan pendekatan ini, sehingga mesti ada mekanisme penyebaran informasi dan menjalin hubungan koordinasi dengan pemegang ijin hak, masyarakat, serta instansi lain terkait. Lebih jauh, pemerintah daerah hendaknya juga menyediakan anggaran dana khusus untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan.

4. Pihak lain terkait. Pihak lain yang dimaksud misalnya LSM, lembaga donor, perguruan tinggi, kalangan pers, dan lain-lain. Pihak-pihak tersebut harus senantiasa mendorong terwujudnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Peran mereka bisa sebagai fasilitator, penyedia jasa pelatihan, penyebaran informasi dan mediator bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

IV. SYARAT PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI

Berkaca pada persoalan kehutanan Indonesia yang kini tengah dikepung berbagai persoalan berat dan kompleks. Sepertinya kata kelestarian hanyalah sebuah slogan yang tak lebih dari sekedar mitos. Semakin dicari, aktualisasinya di lapangan justru yang kian ditemukan secara nyata adalah situasi kebalikannya. Konsep kelestarian yang merupakan tujuan akhir dari setiap bentuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan seolah hanya merupakan konsep utopis.

ITTO pada tahun 1991 meluncurkan definisi Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management / SFM) sebagai suatu proses pengelolaan lahan hutan yang dilakukan sedemikan rupa sehingga secara terus menerus dapat memberikan produksi dan jasa yang diharapkan sesuai dengan tujuan pengelolaan yang ditetapkan lebih dahulu secara spesifik dan jelas serta tidak berlebihan yang dapat mengurangi nilai dan produktivitas serta menimbulkan efek lingkungan dan sosial yang tidak diinginkan. Tiga komponen kelestarian SFM menurut ITTO adalah :

a. Kelestarian fungsi produksi yaitu : jaminan kepastian sumber daya kawasan dan kelangsungan ekosistem hutan.

b. Kelestarian fungsi ekologis dengan dipertahankannya sistem penunjang kehidupan dan terpeliharanya keanekaragaman hayati.

c. Kelestarian fungsi sosial-ekonomi dan budaya dengan dipertahankannya aspek sosial ekonomi budaya masyarakat lokal.

Menurut Higman dkk (2006), komponen utama dalam pengelolaan hutan lestari (PHL) adalah:

1. Kerangka Hukum dan Kebijakan (A legal and policy framework).

2. Keberlanjutan dan Optimalnya produksi hasil hutan (Sustained and optimalproduction of forest products).

3. Perlindungan Lingkungan (Protecting the environment).

4. Kesejahteraan Masyarakat (Wellbeing of people).

5. Teknik Silvikultur (Some extra considerations apply specifically to plantations).

Pembangunan Kehutanan berazaskan kelestarian atau pengelolaan hutan produksi lestari dan berkelanjutan berdasarkan pengalaman negara lain, disimpulkan Simon (1993) mengandung tiga syarat penting yang harus dipenuhi yaitu :

a. Adanya batas kawasan hutan yang tetap dan diakui semua pihak.

b. Adanya sistem silvikultur yang menjamin terlaksananya permudaan hutan yang mesti berhasil.

c. Penentuan etat tebangan yang menjamin terwujudnya kelestarian hasil kayu.

Namun sistem pengelolaan hutan berkelanjutan bukan hanya bagaimana memenuhi 3 komponen penting SFM, 5 komponen utama PHL dan 3 syarat penting seperti tersebut di atas, akan tetapi juga pada bagaimana melakukan integrasi, koordinasi, kemitraan dan intensifikasi peran antar multi pihak dalam mewujudkan SFM. Langkah kuncinya adalah :

1. Integrasi kebijakan antar departemen.

2. Integrasi 3 komponen penting SFM, 5 komponen utama PHL dan 3 syarat penting.

3. Koordinasi berdasarkan sistem pengelolaan hutan yang terstruktur dan dapat diakses dan dimonitor oleh para pihak pemangku kepentingan.

4. Melakukan dialog dan kemitraan antar pihak pemangku kepentingan untuk intensifikasi sistem silvikultur setempat/lokal.

V. PENUTUP

Upaya mengoptimalkan peranan dan sumbangan sektor kehutanan pada pembangunan berarti evaluasi dari kebjakan yang ada sekarang dan menyempurnakan aspek-aspek yang tidak mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Kejayaan hutan yang selalu didengungkan sebagai sumber daya alam yang berlimpah dan tak terkirakan nilainya tampaknya hanya akan tinggal kenangan apabila tidak ada upaya nyata dan sungguh-sungguh serta menyeluruh dari semua pihak yang berkepentingan untuk melestarikannya dengan baik.

Banyak pihak telah berbicara mengenai konsep kelestarian hutan, tapi realitasnya sampai sekarang hutan masih menjadi masalah bangsa. Kalau mau mengakui sesungguhnya masih banyak masalah yang belum bisa ditangani. Ironisnya justru masalah yang mendasar hingga kini belum tuntas, misalnya soal batas kawasan hutan yang benar-benar diakui dan permanen serta sistem silvikultur yang menjamin keberhasilan tanaman.

Meminjam pengertian praksis dari Jurgen Habermas filsuf Jerman, maka praksis kehutanan dapat digolongkan tindakan dasar manusia dalam kerja dan komunikasi kehutanan. Habermas membedakan kerja adalah tindakan dasar manusia terhadap alam dan komunikasi adalah tindakan dasar manusia terhadap sesamanya. Berdasarkan cara pandang ini maka pengelolaan hutan khususnya hutan produksi lestari secara teoritik dapat dilakukan sepanjang kita memegang teguh komitmen pada tujuan akhir pengelolaan hutan yaitu kelestarian dan mewujudkan praksis kehutanan secara konsisten dengan kerja (perlu profesionalisme dalam pengelolaan) dan komunikasi (perlu kultur dialektika para pihak) yang berkesinambungan. Kerja-kerja multipihak amat diperlukan untuk membangun masa depan hutan dan kehutanan di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Awang, San Afri, 2003, Politik Kehutanan Masyarakat, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

FAO. 1996. Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of Change Processes. FAO.

Fay, C., and G. Michon. 2005. Redressing forestry hegemony: When a forestry regulatory framework is best replaced by an agrarian one. Forest, Trees and Livelihoods. Vol. 15.

Fisher, Simon, Jawed Ludin, Steve Williams, Dekha Ibrahim Abdi, Richard Smith dan Sue Williams, 2000, Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council, Indonesia, Jakarta.

Higman S.,dkk 2006. The Sustainable Forestry Handbook, Second edition, Earthscan, London.



Iskandar U, 1999, Dialog Kehutanan dalam Wacana Global, cet. 1, Bigraf Publishing : Yogyakarta.

Miall, Hugh, Oliver Ramsbothan, dan Tom Woodhouse, 2002, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nugroho A, Yudo E., 2007, Hutan, Industri dan Kelestarian, Wana Aksara, Jakarta.

Sardjono, Mustofa Agung, 2004, Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik, dan Kelestarian Sumberdaya, Debut Press, Yogyakarta.

Simon, Hasanu, 1993, Hutan Jati dan Kemakmuran; Problematika dan Strategi Pemecahannnya, Aditya Media, Yogyakarta.

Tajjudin, D, 2000, Manajemen Kolaborasi, Pustaka LATIN. Bogor.

Wiyono T Putro, 2008, Pentingnya Partisipasi dan Penguatan Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Jawa, Makalah Kursus Pengelolaan Hutan, DERAS Training Centre, Yogyakarta.

sumber asli ;

http://mukti-aji.blogspot.com/2009/03/pengelolaan-hutan-produksi-bisakah.html

Biogas

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Krisis energi yang melanda negeri ini diperkirakan masih akan berlangsung beberapa tahun ke depan. Di tengah persoalan tersebut, pengembangan energi baru dan terbarukan menjadi solusi alternative. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat pennulisan, metode penyelesaian, dan sistematika penulisan tentang penggunaan biogas sebagai pengganti BBM untuk penghasil energi.

Dengan timbulnya kelangkaan bahan bakar minyak yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia yang signifikan, pemerintah mengajak masyarakat untuk mengatasi masalah energi ini secara bersama-sama karena kenaikan harga yang mencapai 72 dolar/barel ini termasuk luar biasa ¹. Harga ini membuat harga minyak menjadi yang tertinggi sepanjang abad 21. Masalah ini memang sulit sebagaimana yang dikatakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kenaikan harga minyak akan menyebabkan kenaikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada APBN 2006. Peryataan selanjutnya dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan bahwa masyarakat perlu untuk melakukan penghematan di segala sisi termasuk penggunaan BBM, listrik, air, dan telepon ². Adapun hal yang menyebabkan keharusan setiap warga untuk melakukan proses penghematan adalah karena pasokan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi merupakan sumber energi fosil yang tidak dapat diperbarui (unrenewable). Salah satu jalan untuk melakukan penghematan BBM adalah dengan mencari sumber energi alternatif terutama yang dapat diperbarui (renewable) ³.

Sebagai contoh, potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi sumber energi adalah batu bara, panas bumi, aliran sungai, angin, matahari, sampah serta sumber-sumber lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon jarak. Energi terbarukan lain yang dapat dihasilkan dengan teknologi tepat guna yang relatif lebih sederhana dan sesuai untuk daerah pedesaan adalah energi biogas dengan memproses limbah bio atau bio massa di dalam alat kedap udara yang disebut digester. Biomassa berupa limbah dapat berupa kotoran ternak bahkan tinja manusia, sisa-sisa panenan seperti jerami, sekam dan daun-daunan sortiran sayur dan sebagainya. Namun, sebagian besar terdiri atas kotoran ternak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari biogas?
2. Efektifkah biogas sebagai pengganti BBM untuk menghasilkan energi?
3. Apa saja bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan biogas?
4. Apa saja kandungan yang dimiliki oleh biogas?
5. Apa perbedaan biogas dengan sumber bahan bakar lainnya?
6. Bagaimana cara menolah biogas?
7. Bagaimana cara pemanfaatan biogas?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian biogas.
2. Mengetahui kandungan yang terdapat dalam biogas.
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki biogas.
4. Mengetahui cara pemanfaatan dan pengolahan biogas.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Dapat mengetahui perbedaan biogas dengan sumber enrgi bahan bakar lainnya.
2. Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki biogas.
3. Dapat mengetahui cara megolah biogas.
4. Dapat menambah wawasan.
5. Dapat membantu memecahkan masalah akibat kelangkaan BBM sebagi sumber energi.
6. Dapat memotivasi untuk menghasilkan teknologi tepat guna dalam rangka membantu pemerintah untuk menghemat energi.

1.5 Metode Penyelesaian

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan metode penulisan referensi sumber pustaka dan rangkuman.

1.6 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
1.5 Metode Penyelesaian
1.6 Sistematika Penulisan
Bab II Pengenalan Biogas
2.1 Pengertian Biogas
2.2 Sejarah Biogas
2.3 Prinsip Teknologi
2.4 Komposisi
Bab III Pengolahan, Reaktor dan Proses Kerja Biogas
3.1 Pengolahan Biogas
3.2 Reaktor Biogas
3.2.1 Reaktor kubah tetap
3.2.2 Reaktor floating drum
3.2.3 Reaktor balon
Bab IV Manfaat dan Kelebihan Biogas
4.1 Manfaat dan Kelebihan yang dimiliki Biogas
4.1.1 Perhitungan Peluang Pemanfaatan Biogas dalam Mengatasi Masalah BBM di
Indonesia
Bab V Penutup
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

BAB II
PENGENALAN BIOGAS

2.1 Pengertian Biogas

Biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material organik dengan bantuan bakteri. Proses degradasi material organik ini tanpa melibatkan oksigen disebut anaerobik digestion Gas yang dihasilkan sebagian besar (lebih 50 % ) berupa metana. material organik yang terkumpul pada digester (reaktor) akan diuraiakan menjadi dua tahap dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama material orgranik akan didegradasi menjadi asam asam lemah dengan bantuan bakteri pembentuk asam. Bakteri ini akan menguraikan sampah pada tingkat hidrolisis dan asidifikasi. Hidrolisis yaitu penguraian senyawa kompleks atau senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, karbohidrat menjadi senyawa yang sederhana. Sedangkan asifdifikasi yaitu pembentukan asam dari senyawa sederhana.

Setelah material organik berubah menjadi asam asam, maka tahap kedua dari proses anaerobik digestion adalah pembentukan gas metana dengan bantuan bakteri pembentuk metana seperti methanococus, methanosarcina, methano bacterium.

Perkembangan proses Anaerobik digestion telah berhasil pada banyak aplikasi. Proses ini memiliki kemampuan untuk mengolah sampah / limbah yang keberadaanya melimpah dan tidak bermanfaat menjadi produk yang lebih bernilai. Aplikasi anaerobik digestion telah berhasil pada pengolahan limbah industri, limbah pertanian limbah peternakan dan municipal solid waste (MSW).

2.2 Sejarah Biogas

Gas methan sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan, proses fermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan gas methan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta (1776). Hasil identifikasi gas yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806. Dan Becham (1868), murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882), adalah orang pertama yang memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan methan.

Adapun alat penghasil biogas secara anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900. Pada akhir abad ke-19, riset untuk menjadikan gas methan sebagai biogas dilakukan oleh Jerman dan Perancis pada masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia II, banyak petani di Inggris dan Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas kecil yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Akibat kemudahan dalam memperoleh BBM dan harganya yang murah pada tahun 1950-an, proses pemakaian biogas ini mulai ditinggalkan. Tetapi, di negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu tersedia selalu ada. Oleh karena itu, di India kegiatan produksi biogas terus dilakukan semenjak abad ke-19. Saat ini, negara berkembang lainnya, seperti China, Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Nugini, telah melakukan berbagai riset dan pengembangan alat penghasil biogas . Selain di negara berkembang, teknologi biogas juga telah dikembangkan di negara maju seperti Jerman .

2.3 Prinsip Teknologi

Pada prinsipnya, teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh bakteri methan sehingga dihasilkan gas methan. Gas methan adalah gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas methan yang dihasilkan kemudian dapat dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar terdiri dari kotoran, dan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan sebagainya, serta air yang cukup banyak . Proses ini sebetulnya terjadi secara alamiah sebagaimana peristiwa ledakan gas yang terbentuk di bawah tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Leuwigajah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat .

Prinsip pembangkit biogas, yaitu menciptakan alat yang kedap udara dengan bagian-bagian pokok terdiri atas pencerna (digester), lubang pemasukan bahan baku dan pengeluaran lumpur sisa hasil pencernaan (slurry), dan pipa penyaluran biogas yang terbentuk. Di dalam digester ini terdapat bakteri methan yang mengolah limbah bio atau biomassa dan menghasilkan biogas. Dengan pipa yang didesain sedemikian rupa, gas tersebut dapat dialirkan ke kompor yang terletak di dapur. Gas tersebut dapat digunakan untuk keperluan memasak dan lain-lain .

2.4 Komposisi

Biogas sebagian besar mengandung gs metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2), dan beberapa kandungan yang jumlahnya kecil diantaranya hydrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) serta hydrogen dan (H2), nitrogen yang kandungannya sangat kecil.

Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH4). Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin kecil kandungan metana semakin kecil nilai kalor. Kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan memperlakukan beberapa parameter yaitu : Menghilangkan hidrogen sulphur, kandungan air dan karbon dioksida (CO2). Hidrogen sulphur mengandung racun dan zat yang menyebabkan korosi, bila biogas mengandung senyawa ini maka akan menyebabkan gas yang berbahaya sehingga konsentrasi yang di ijinkan maksimal 5 ppm. Bila gas dibakar maka hidrogen sulphur akan lebih berbahaya karena akan membentuk senyawa baru bersama-sama oksigen, yaitu sulphur dioksida /sulphur trioksida (SO2 / SO3). senyawa ini lebih beracun. Pada saat yang sama akan membentuk Sulphur acid (H2SO3) suatu senyawa yang lebih korosif. Parameter yang kedua adalah menghilangkan kandungan karbon dioksida yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas, sehingga gas dapat digunakan untuk bahan bakar kendaraan. Kandungan air dalam biogas akan menurunkan titik penyalaan biogas serta dapat menimbukan korosif.

BAB III
PENGOLAHAN, JENIS REAKTOR DAN PROSES KERJA BIOGAS

3.1 Pengolahan Biogas

Pengolahan biogas banyak macamnya, di antaranya dengan skala besar atau skala kecil. Keduanya membutuhkan bahan baku yang sama yaitu kotoran atau sampah organik. Perbedaannya untuk skala besar digunakan untuk menampung energi bagi masyarakat luas dengan kegiatan atau pekerjaan yang lebih banyak. Contohnya, pembangkit listrik di pedesaan. Sedangkan skala kecil digunakan untuk menampung energi bagi usaha atau kegiatan yang lebih personal. Contohnya, salah satu bahan bakar untuk memproduksi kue donat di pabrik donat. Berikut contoh cara pembuatan biogas:

1. Kotoran sapi kira-kira 1kg atau berapalah dibungkus plastik kemudian di kubur dalam tanah selama kurang lebih 1-3 bulan

2. Buat wadah untuk tempatnya misalnya gali tanah atau di tong sampah jangan lupa buat lubang atau apalah untuk nyalurin gas yang dihasilkannya melalui selang

3. Masukkan kotoran sapi tadi ke dalam tempat yang sudah disediakan tadi kemudian tambahkan kotoran sapi atau sampah organik lain tutup tempatnya tunggu sampai kotoran sapi tadi diuraikan bakteri.

3.2 Reaktor Biogas

Ada beberapa jenis reaktor biogas yang dikembangkan diantaranya adalah reaktor jenis kubah tetap (Fixed-dome), reaktor terapung (Floating drum), reaktor jenis balon, jenis horizontal, jenis lubang tanah, jenis ferrocement. Dari keenam jenis digester biogas yang sering digunakan adalah jenis kubah tetap (Fixed-dome) dan jenis Drum mengambang (Floating drum). Beberapa tahun terakhi ini dikembangkan jenis reaktor balon yang banyak digunakan sebagai reaktor sedehana dalam skala kecil.

3.2.1 Reaktor kubah tetap (Fixed-dome)

Reaktor ini disebut juga reaktor china. Dinamakan demikian karena reaktor ini dibuat pertama kali di chini sekitar tahun 1930 an, kemudian sejak saat itu reaktor ini berkembang dengan berbagai model. Pada reaktor ini memiliki dua bagian yaitu digester sebagai tempat pencerna material biogas dan sebagai rumah bagi bakteri,baik bakteri pembentuk asam ataupun bakteri pembentu gas metana. bagian ini dapat dibuat dengan kedalaman tertentu menggunakan batu, batu bata atau beton. Strukturnya harus kuat karna menahan gas aga tidak terjadi kebocoran. Bagian yang kedua adalah kubah tetap (fixed-dome). Dinamakan kubah tetap karena bentunknya menyerupai kubah dan bagian ini merupakan pengumpul gas yang tidak bergerak (fixed). Gas yang dihasilkan dari material organik pada digester akan mengalir dan disimpan di bagian kubah.

Keuntungan dari reaktor ini adalah biaya konstruksi lebih murah daripada menggunaka reaktor terapung, karena tidak memiliki bagian yang bergerak menggunakan besi yang tentunya harganya relatif lebih mahal dan perawatannya lebih mudah. Sedangkan kerugian dari reaktor ini adalah seringnya terjadi kehilangan gas pada bagian kubah karena konstruksi tetapnya.

3.2.2 Reaktor floating drum

Reaktor jenis terapung pertama kali dikembangkan di india pada tahun 1937 sehingga dinamakan dengan reaktor India. Memiliki bagian digester yang sama dengan reaktor kubah, perbedaannya terletak pada bagian penampung gas menggunakan peralatan bergerak menggunakan drum. Drum ini dapat bergerak naik turun yang berfungsi untuk menyimpan gas hasil fermentasi dalam digester. Pergerakan drum mengapung pada cairan dan tergantung dari jumlah gas yang dihasilkan.
Keuntungan dari reaktor ini adalah dapat melihat secara langsung volume gas yang tersimpan pada drum karena pergerakannya. Karena tempat penyimpanan yang terapung sehingga tekanan gas konstan. Sedangkan kerugiannya adalah biaya material konstruksi dari drum lebih mahal. faktor korosi pada drum juga menjadi masalah sehingga bagian pengumpul gas pada reaktor ini memiliki umur yang lebih pendek dibandingkan menggunakan tipe kubah tetap.

3.2.3 Reaktor balon

Reaktor balon merupakan jenis reaktor yang banyak digunakan pada skala rumah tangga yang menggunakan bahan plastik sehingga lebih efisien dalam penanganan dan perubahan tempat biogas. reaktor ini terdiri dari satu bagian yang berfungsi sebagai digester dan penyimpan gas masing masing bercampur dalam satu ruangan tanpa sekat. Material organik terletak dibagian bawah karena memiliki berat yang lebih besar dibandingkan gas yang akan mengisi pada rongga atas.

3.3 Proses Kerja Biogas

Di dalam digester bakteri-bakteri methan mengolah limbah bio atau biomassa dan menghasilkan biogas methan. Dengan pipa yang didesain sedemikian rupa, gas tersebut dapat dialirkan ke kompor yang terletak di dapur. Gas tersebut dapat digunakan untuk keperluan memasak dan lain-lain. Biogas dihasilkan dengan mencampur limbah yang sebagian besar terdiri atas kotoran ternak dengan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan sebagainya, dengan air yang cukup banyak.

Untuk pertama kali dibutuhkan waktu lebih kurang dua minggu sampai satu bulan sebelum dihasilkan gas awal. Campuran tersebut selalu ditambah setiap hari dan sesekali diaduk, sedangkan yang sudah diolah dikeluarkan melalui saluran pengeluaran. Sisa dari limbah yang telah dicerna oleh bakteri methan atau bakteri biogas, yang disebut slurry atau lumpur, mempunyai kandungan hara yang sama dengan pupuk organik yang telah matang sebagaimana halnya kompos sehingga dapat langsung digunakan untuk memupuk tanaman, atau jika akan disimpan atau diperjualbelikan dapat dikeringkan di bawah sinar matahari sebelum dimasukkan ke dalam karung.

BAB IV
MANFAAT DAN KELEBIHAN BIOGAS

4.1 Manfaat dan Kelebihan yang dimiliki Biogas

- Biogas merupakan energi tanpa menggunakan material yang masih memiliki manfaat termasuk biomassa sehingga biogas tidak merusak keseimbangan karbondioksida yang diakibatkan oleh penggundulan hutan (deforestation) dan perusakan tanah.
- Energi biogas dapat berfungsi sebagai energi pengganti bahan bakar fosil sehingga akan menurunkan gas rumah kaca di atmosfer dan emisi lainnya.
- Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang keberadaannya duatmosfer akan meningkatkan temperatur, dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakar maka akan mengurangi gas metana di udara.
- Limbah berupa sampah kotoran hewan dan manusia merupakan material yang tidak bermanfaaat, bahkan bisa menngakibatkan racun yang sangat berbahaya. Aplikasi anaerobik digestion akan meminimalkan efek tersebut dan meningkatkan nilai manfaat dari limbah.
- Selain keuntungan energi yang didapat dari proses anaerobik digestion dengan menghasilkan gas bio, produk samping seperti sludge. Meterial ini diperoleh dari sisa proses anaerobik digestion yang berupa padat dan cair. Masing-masing dapat digunakan sebagai pupuk berupa pupuk cair dan pupuk padat.

4.2 Perhitungan Peluang Pemanfaatan Biogas dalam Mengatasi Masalah BBM di Indonesia

Program penghapusan BBM yang dilaksanakan pada tahun 2005 akan menjadi momentum yang tepat dalam penggunaan energi alternatif seperti biogas. Hal ini bisa dihitung dengan adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang menjanjikan (8900 kkal/m3 gas methan murni) .

Hal yang pertama harus diperhitungkan dalam menghitung jumlah energi yang dihasilkan adalah berapa banyak jumlah bahan baku yang dihasilkan. Jumlah bahan baku gas ini didapatkan dengan menjumlahkan jumlah feses dan sampah organik yang dihasilkan setiap hari. Jumlah bahan baku ini akan menentukan berapa jumlah energi dan volume alat pembentuk biogas .

Sebagai pertimbangan, telah diketahui di China dan India, dalam 1 hari jumlah feses yang dihasilkan 1 ekor sapi adalah 5 kg dan 80 kilogram kotoran sapi yang dicampur 80 liter air dan potongan limbah lainnya dapat menghasilkan 1 meter kubik biogas . Jika diasumsikan bahwa jumlah feses manusia yang dihasilkan sebanyak 0.5 kg/hari/orang, 1 keluarga terdiri dari 5 orang, dan setiap keluarga memelihara 1 ekor sapi, serta 1 desa terdiri dari 40 orang, maka akan didapatkan hasil perhitungan jumlah feses yang dihasilkan sebanyak 140 kg feses/ hari. Dengan jumlah ini, maka biogas yang dihasilkan setiap hari sebanyak 1,75 m3/hari atau sebesar 15.575 kkal/hari.

Hal ini akan semakin mengejutkan dengan adanya perhitungan bahwa jumlah penduduk indonesia berdasarkan data statistik pada tahun 2000 sebanyak lebih dari 200 juta jiwa . Dengan hanya mengandalkan asumsi perhitungan jumlah kotoran manusia tanpa memperhitungan sampah organik dan feses hewan ternak, akan didapatkan hasil feses sebanyak 100 juta kg feses/hari atau 1,25 juta m3/hari atau 11.125 juta kkal/hari. Apabila dengan asumsi konversi 1 J = 4.2 kal maka akan didapatkan hasil total energi yang dihasilkan hanya dari jumlah penduduk adalah sebesar 30.66 MW.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dengan adanya global warming (pemanasan global), berkurang sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui seperti BBM, biogas dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang muncul tentang itu. Biogas merupakan sistem teknologi penghasil energi dengan menggunakan bahan baku kotoran atau sampah organik. Menerapkan sistem fermentasi bakteri diciptakanlah alat biogas yang dapat dipergunakan sebagai penghasil energi dan pembangkit listrik. Bahan yang mudah didapatkan dan biaya yang tidak mahal sangat membantu masyarakat dalam menyelasaikan permasalahan ekonomi khususnya dengan naiknya harga BBM.

5.2 Saran

Dari uraian dan kesimpulan yang telah disusun maka penyusun ingin memberikan saran:
1. Semoga masyarakat luas dapat mempraktikan teknologi ini secara langsung.
2. Teknologi terus dikaji lebih dalam agar dapat menarik masyarakat untuk menggunakannya.
3. Adanya sosialisasi dan penyuluhan dari para peneliti ilmuan atau pemerintah terhadap masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Asep Bayu, dkk. Biogas sebagai Peluang Pengembangan Energi Alternatif. http://megtech.net/?P=80
2. Burhani Rahman. Biogas Sumber Energi Alternatif. http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1123717100
3. Franky, dkk. Contoh Karya Ilmiah Kelas X. http://binacc.blogspot.com/2008/06/contoh-karya-ilmiah-kelas-x.html
4. Agung Pambudi. Pemanfaatan Biogas sebagai Energi Alternatif. http://www.dikti.go.id http://ditnaga-dikti.org-admin@dikti.org
5. Agus Mardiansyah. Re: Cara membuat Biogas? bagaimana???. http://www.blogspot.com-admin@blogsspot.com
6. Juanda, Asep dkk. 2006. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA. Bandung: Pustaka Setia

Praktikum Pertamanan

Praktikum Pertamanan




Pendahuluan

Indonesia memiliki keragaman dan kekayaan etnik budaya dan sumberdaya hayati yang tinggi. Dua sumber daya ini, melalui proses alami atau bantuan manusia, selanjutnya membentuk suatu tatanan lanskap dan pertamanan yang beragam serta memiliki nilai budaya yang tinggi. Keragaman ini perlu untuk dipelihara dan juga ditingkatkan kualitas dan peranannya – melalui perencanaan, perancangan atau pengelolaan lanskap. Seperti hal nya Riau yang merupakan daerah yang indah dengan kekayaan khasanah budaya melayu dengan sebutan bumi lancang kuning, dan vegetasi di Riau yang kaya akan berbagai macam vegetasi. Dan Universitas Riau mencoba untuk mengadaptasi dan mempertahankan keunikan Riau dalam hal vegetasi hutan seperti yang terdapat di Arboretum yang dijaga dengan berbagai tanaman hutan di Riau, hingga Universitas Riau harus dipertahankan tata ruang nya sebagai kampus hijau. Dan didepan rektorat dengan danau yang sebagai elemen mayor mempertahan estetika keindahan alami.

Tujuan Praktikum

- Dapat mengidentifikasi elemen-elemen penyusun lanskap, taman dan desain

- Dapat membuat sketsa dari salah satu taman di Universitas Riau

Pembahasan

Taman di depan Rektorat Universitas Riau memiliki berbagai elemen penyusun yang memberikan pengaruh keindahan pada setiap produk lanskap yang ada. Lanskap dari taman tersebut ada elemen lanskap mayor dan minor, tanaman eucalyptus di depan rektorat memberikan nuansa tersendiri dan terkesan seperti diaustralia, elemen keras batu yang bertuliskan Universitas Riau dengan kesan tulisan yang putih menjadikan kontras warna yang meperjelas tulisan tersebut dan batu yang dipakai menjadikan kesan taman tersebut menjadi unik dan terkesan batu natural, Dan danau yang terdapat didepan rektorat menjadikan itu lebih terkesan alami dengan elemen mayornya yang dibiarkan secara alami sebagai penyusun lanskap dari taman tersebut.

Taman di depan Rektorat Unri disusun oleh elemen-elemen yang mempengaruhi nilai estetiknya. Elemen-elemen tersebut yaitu:

· Elemen taman, terdiri dari hard dan soft. Elemen hard dari taman rektorat ini yaitu batu. Sedangkan elemen soft dari taman ini yaitu air danau , tanaman pohon eucalyptus, dan dikekat danau ada beberapa tanaman bunga

· Elemen lanskap, terdiri dari elemen lanskap mayor dan elemen lanskap minor. Elemen lanskap mayor terdiri dari forces (angin, aliran udara, dan radiasi matahari) dan Features (hujan, suhu, kabut, dan RH).

· Elemen design, terdiri dari garis (garis yang membentuk vertikal sari pohon eucalyptus), bentuk (danau berbentuk alami), Warna ( warna hijau yang mendominasi karena dipinggiran danau terdapat banyak tumbuhan dan rumput tutupan tang, warna ( warna kecoklatan pada air danau).

Setiap elemen yang ada harus dikelola dengan baik agar ekosistem dan keindahannya tidak terancam punah dan tetap terjaga. Karena yang terpenting dari sebuah taman adalah pemeliharaanya agar tetap terjaga dan indah.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahan diatas taman depan Rektorat Unri merupakan produk lanskap dari Unri. Setiap elemen menyusun keindahan dan keharmonisan depan taman tersebut. Untuk menjaga taman tersebut haruslah ada peran semua pihak baik pengelola taman maupun mahasiswa dan pengunjung yang berekreasi ke taman tersebut.