Peatland in Southeast Asia

Peatland in Southeast Asia

Tropical peatlands are found in Southeast Asia, the Caribbean, Central America, South America and Central Africa. The most recent estimated tropical peatlands area by Page et al. (2011) is 44.1 million hectares equivalent to 11% of the global peatland area. 56% of these peatlands are found in Southeast Asia.

Distribution of lowland peatlands in Southeast Asia (Data modified from Page et al., 2011).

In Southeast Asia, peatlands occupy mostly low altitude coastal and sub-coastal environments and are usually located at altitudes from sea level to 50m above sea level (Rieley et al., 2008). The total peatland area in Southeast Asia is approximately 24.7 million hectares in which 20.7 million hectares are in Indonesia (Page et al., 2011).

Peat is defined as a soil type containing at least 65% organic matter. It is comprised of partially decayed organic matter such as stems and roots. The decomposition of organic matter slows down in the presence of water and absence of oxygen, and peat is formed when the rate of accumulation exceeds the rate of decomposition. Over thousands of years, this layer of peat can reach a depth of 20m.

Area of peatlands in Southeast Asia by country (Modified from Joosten, 2009; National Environmental Agency Singapore, 2011; Page et al., 2011; Quoi, 2012).

Peat Swamp Forest (PSF) is a natural vegetation in lowland tropical peatlands in Southeast Asia. Most of the fauna and flora found in peat swamp forests are unique and highly adapted to the environment (i.e. acidic water and waterlogged condition).

Peat swamp forests have many ecological functions such as:

1. A source of freshwater supply.
2. Flood mitigation.
3. Carbon sink and store.
4. Safeguarding biodiversity.

Peraturan PerUndang-Undangan Terkait Restorasi Gambut

Peraturan Desa yang akan dibuat untuk melindungi dan mengelola gambut harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di tingkat nasional, berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Restorasi Gambut:

  1. Undang-UndangNomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria, UUPA)
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
  3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;
  4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
  5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
  7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
  8. Undang-UndangNomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan;
  9. PeraturanPemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan danHak Pakai Atas Tanah;
  10. PeraturanPemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan;
  11. PeraturanPemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PeraturanPemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan EkosistemGambut.
  12. Peraturan Pemerintah 13 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Penataan Ruang Wilayah Nasional.
  13. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Audit Lingkungan;
  14. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Tata Cara Inventarisasi Dan Penetapan Ekosistem Gambut;
  15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Dititik Penataan Ekosistem Gambut;
  16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut;
  17. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/2015 Tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri

Polusi Udara Akibat Kebakaran dan Kabut Asap

Polusi Udara Akibat Kebakaran dan Kabut Asap

Selama musim kebakaran, kabut asap yang tebal menyelimuti beberapa kota di daerah yang rawan kebakaran selama berbulan-bulan. Selain itu, gumpalan asap yang dihasilkan dapat menyebabkan polusi udara lintas batas di wilayah tersebut (Heil dan Goldammer, 2001).Tahun El Nino 1997 ketika kebakaran hutan ekstensif dilaporkan di Indonesia terlihat puncak total dan troposfer ozon yang diamati di Watukosek, Indonesia (Fujiwara dkk, 1999), mengakibatkan polusi udara yang parah di Asia Tenggara. Setelah peristiwa polusi udara besar tersebut, pemerintah dari sepuluh negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) menandatangani perjanjian ASEAN mengenai polusi asap lintas batas pada 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Perjanjian Asap ASEAN adalah regulasi regional pertama di dunia yang mengikat sekelompok negara untuk mengatasi polusi kabut lintas batas yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan.

Gambar 1. Konsentrasi PM10 Pada Saat Kebakaran Terkait El Nino
  
Limin dkk (2007) yang dilanjutkan oleh Hayasaka dkk (2014) menganalisis berbagai data pencemaran udara seperti karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), Ozon permukaan (O3), dan partikel debu (PM10) setelah tahun 2000. Konsentrasi PM 10 dari beberapa kejadian karhutla dapat dilihat seperti pada Gambar 1Polusi udara di Palangka Raya, Kalimantan Tengah dipantau oleh Sistem Manajemen Kualitas Udara dan Pusat Regional, Kota Palangka Raya.

Lokasi dari tiga stasiun pengukur adalah Tjilik Riwut, Tilung dan Murjani. Setiap stasiun mengukur parameter berikut ini PM10, SO2, CO, O3, dan NO2, dengan menggunakan Air Quality Monitoring System (AQMS) dari HORIBA, Ltd. Pusat kualitas udara memproses semua data polusi udara secara otomatis setiap 30 menit dan menampilkan nilainya bersama dengan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) setiap hari (waktu pembaruan pada pukul 15.00) pada layar yang terletak di bundaran besar Palangka Raya.
  
Gambar 2. Konsentrasi PM10 dan Visibilitas Agustus s/d November 2015

Gambar 1 menunjukkan bahwa ISPU menunjukkan level berbahaya terpanjang terjadi selama 2002 yang berlangsung sekitar 80 hari dari pertengahan Agustus hingga akhir Oktober. Konsentrasi puncak maksimum PM10 adalah 1 905 μg m-3, dimana lebih tinggi dari tahun kebakaran lainnya. Sedangkan level konsentrasi gas polutan SO2 adalah tidak sehat dan CO, O3, NO2 adalah sangat tidak sehat (Hayasaka dkk, 2014), sesuai dengan penentuan batas ISPU dari Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor KEP-107/Kabapedal/11/1997 pada September 2015, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa enam provinsi Indonesia telah mengumumkan keadaan darurat karena kabut asal, yaitu Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Salah satu indikatornya adalah indeks standart polusi udara (ISPU) telah mencapai tingkat bahaya menurut Dinas Lingkungan Hidup Provinsi.

Hayasaka dan Sepriado (2018) menunjukkan bahwa hotspot di eks PLG yang terdeteksi dari satellite NASA adalah berkisar dari 100 titik per hari sejak pertengahan agustus 2015. Di Palangka Raya, polusi udara yang berbahaya dengan konsentrasi PM10 lebih dari 500 ug m-3 terjadi selama 2 (dua) bulan yaitu September dan Oktober.

Gambar 3. Ketebalan Optikal Aerosol (AOD) di Kalimantan dan Sumatera tahun 2015
Berdasarkan data diperoleh dari pengukuran di Stasiun Tjilik Riwut Palangka Raya, kabut asap yang menyelimuti Palangka Raya semakin pekat pada akhir Oktober. Akibatnya, jarak pandang kian terbatas, hanya berkisar 200 hingga 900 m pada saat musim puncak polusi udara tersebut (Gambar 2). Gambar ketebalan aerosol dari satelit NASA Terra/MODIS selama September sampai dengan Oktober 2015 terlihat sangat pekat pada Gambar 3. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar pengendara harus menghidupkan lampu kendaraan akibat terbatasnya jarak pandang. Angka tersebut cenderung tidak terlalu aman untuk aktivitas transportasi dan penerbangan.

Menurut Field dkk (2016) ketebalan optikal aerosol berdasarkan data satelit di Sumatra dan Kalimantan menunjukkan bahwa peringkat kedua 2015 setelah 1997 dan di samping 1991 dan 1994 sebagai salah satu episode terburuk dalam catatan sejarah ASEAN. Kedua pulau diselimuti asap tebal yang berlangsung hingga Oktober. Negara terdekat seperti Singapura dan Malaysia, telah terpukul paling parah oleh kabut, yang telah mengirimkan indeks polusi udara melonjak ke tingkat yang tidak sehat selama lebih dari satu bulan. Dalam beberapa hari, angin telah meniupkan kabut ke selatan Thailand juga. Beberapa berita melaporkan bahwa kabut asap bahkan telah mencapai Brunei, Filipina dan Vietnam(Van Mead dkk, 2017; Dotse, 2016; Hansen dkk, 2017).

Gambar 4. Sirkuit F1, Singapura, 14 September 2015
 
Gambar 5.  Davao City, Filipina, 17 Oktober 2015

Di Singapura, salah satu negara yang terkena dampak terburuk kabut asap (Gambar 4), pemerintah merasa harus bertindak dalam menghadapi ketidakpuasan publik yang meluas, dan menerapkan Perjanjian Kabut Asap Lintas batas (Trans-Boundary Haze) untuk pertama kalinya dengan berupaya memberi bantuan kepada Indonesia. Di Pulau Cebu, Filipina, mengalami kabut ketujuh hari berturut-turut pada awal Oktober 2015, akibat angina muson bertiup dari timur laut dari api Indonesia menuju arah Filipina tengah bisa membawa kabut asap. Pada pertengahan Oktober, angin muson bertiup di timur laut dari Indonesia membawa kabut asap ke Davao dan bagian lain dari Mindanao (Gambar 5). Petugas kesehatan setempat telah mengeluarkan buletin bagi warga untuk mengambil tindakan pencegahan, terutama mereka yang mengalami masalah pernapasan.

Tipikal Kebakaran Lahan Gambut

Tipikal Kebakaran Lahan Gambut

Kebakaran gambut terjadi di lapisan gambut (tanah organik), akar, daun kering dan bahan organik lainnya. Jenis ini api membara (api tidak lengkap), yang dapat aktif selama berhari-hari dengan tingkat penyebarannya flameless dan rendah. Kedalaman membara sekitar puluhan sentimeter tetapi sulit untuk dikenali dengan mata telanjang. Di Kalimantan Tengah, kebakaran gambut adalah salah satu isu lingkungan yang besar terkait dengan emisi karbon dan degradasi lahan gambut. Kebakaran lahan gambut biasanya menghasilkan asap beracun dan mereka melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca (CO2, SO4 dan N2O). Hooijer dkk (2006) memperkirakan bahwa emisi CO2 dari sumber ini di Indonesia adalah kemungkinan ratarata maksimum 4,32 Gt/y.

Tulisan ini adalah untuk menjelaskan kondisi kebakaran gambut khususnya suhu membara oleh pengamatan digital dari kebakaran yang sebenarnya dekat Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, di mana meliputi sebagian dari area eks PLG. Sebagian besar wilayah telah terbakar beberapa kali dari tahun 1997 hingga 2013 selama musim kemarau musim panas. Untuk mengamati kondisi kebakaran gambut yang sebenarnya, kita sekarang menggunakan sistem video termal (TVS) untuk mengukur penyebaran api gambut. Profil suhu yang terlihat dari kebakaran besar yang sebenarnya di area eks PLG pada 15 September 2004 diamati dengan TVS.

Pengamatan pertama menunjukkan bahwa suhu di zona kebakaran gambut berkisar antara 100 hingga 500oC. Suhu sekitar 500oC adalah suhu pembakaran gambut yang menyala dan bertepatan dengan suhu bercahaya yang diamati dari TG-DTA (Usup dkk 2004). Suhu yang lebih rendah berada di garis depan (batas), di mana itu sekitar 125oC, tepat di atas titik didih air. Dalam situasi ini, kandungan air gambut umumnya akan menguap, setelah lapisan gambut akan mulai menyala, batas suhu yang lebih rendah ini dapat disebut sebagai zona pemanasan awal (Rein dkk. 2008), ini adalah situasi bersamaan dengan itu di pusat area pembakaran, di bagian tengah, suhu yang direkam oleh TVS lebih tinggi mulai dari 300 hingga 500oC.

Gambar 1 .Gambar infra red (IR) kondisi kebakaran gambut di Desa
Tumbang Nusa (atas). Gambar yang diambil oleh kamera
biasa (kiri) dan kamera termal (kanan).

Di zona pusat ini tempat pembakaran menyala terjadi juga akan ada pelepasan panas dan asap dalam jumlah besar. Pengamatan pada
Gambar 1. menunjukkan suhu di pusat pembakaran hanya sekitar 350oC. Hal ini karena aktivitas kebakaran di daerah ini telah berusaha untuk dipadamkan oleh petugas pemadam kebakaran dengan injeksi air. Sebagai bukti, pinggiran suhu membara diperiksa menggunakan Thermo Perekam TR-81 menunjukkan kisaran 25-30oC. Kondisi menunjukkan basah tapi masih membara hidup selama beberapa minggu kemudian.

Deskripsi sifat fisik gambut setelah mengalami kebakaran berulang adalah kematangan gambut dari keenam lokasi contoh adalah cukup beragam dari saprik (lanjut) sampai fibrik (muda). Kebergaman kematangan gambut cenderung secara vertikal, dimana bagian permukaan memiliki kematangan saprik. Material gambut Saprik tersebut didominasi bahan gambut yang sudah melapuk dan memiliki tekstur mirip tanah mineral serta memiliki warna dari coklat muda ke hitam (Andriesse, 1988).

Namun, kadar air pada lokasi penelitian tergolong masih tinggi, dimana rata-rata memiliki berkisar antara 100-200 %. Kadar air tertinggi terdapat pada Desa Tumbang Nusa yaitu mencapai 400% meskipun sampel diambil pada saat musim kering. Hal ini berhubungan dengan kondisi gambut yang cukup lembab di lokasi tersebut. Ini merupakan fenomena yang cukup menarik karena pada lokasi tersebut terjadi kebakaran yang cukup parah.

Sementara itu, berdasarkan pengamatan pada lokasi di Palangka Raya dan Dadahup cenderung telah terjadinya kondisi kering tak balik (irreversible drying). Ciri-cirinya adalah ditemukan banyak pasir semu (pseudosand) yang akan mengambang jika dimasukkan ke air. Kondisi ini sebagai akibat dari menurunnya gugus karboksilat (COOH) dan OFH-fenolat sehingga gambut pada 0-20 cm menjadi sangat kering (Azri, 1999; Yulianti dkk, 2010).

Gambar 2 . Profil suhu kebakaran pada permukaan gambut (0 -50 cm)

Pengamatan perubahan suhu pada lapisan gambut telah dilakukan selama periode kebakaran pada peristiwa kebakaran tahun 2012. Dalam penelitian ini, IR-gambar dari api gambut 0-50 cm diklasifikasikan menggunakan beberapa kategori untuk menunjukkan variasi suhu lapisan gambut seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2. Dari ekstrem tinggi ke suhu tinggi terjadi sebagian besar di kedalaman melebihi 20 cm di bawah tanah. Di sisi lain, suhu rendah terjadi di permukaan tanah. Ini adalah salah satu alasan mengapa kebakaran gambut sangat sulit untuk diakui oleh mata telanjang. Di beberapa daerah, kami sulit untuk menemukan asap dan radiasi panas di permukaan sebagai tanda kebakaran gambut, terutama setelah hujan atau injeksi air oleh petugas pemadam kebakaran.

Sekilas Tentang Proyek Eks PLG Kalimantan Tengah

Sekilas Tentang Proyek Eks PLG Kalimantan Tengah

Proyek Proyek Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah, melalui Instruksi Presiden tanggal 5 Juni 1995 tentang Ketahanan Pangan dan Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah, diarahkan untuk mengkonversi hutan rawa gambut yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan dan melanjutkan swasembada beras nasional yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984, bahkan diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian yang lebih besar (Noor, 2001).

Kebijakan pengembangan PLG di Provinsi Kalimantan Tengah, penyelanggara utamanya adalah Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Transmigrasi dan Departemen Pertanian. Pemerintah Orde Baru (Orba) melakukan investasi besar dalam membangun saluran irigasi. Kawasan ini kemudian dibagi menjadi 4 (empat) blok yaitu A, B, C, dan D, dengan luasan 1.133.607 ha. Satu blok dikususkan untuk konservasi hutan rawa gambut yaitu blok E. Selama kurun waktu satu tahun telah dibuat saluran primer induk (SPI) sepanjang hampir 200 km yang menghubungkan Sungai Kahayan dan Sungai Barito dan saluran primer utama (SPU) sepanjang hampir 1,000 km yang menghubungkan blok-blok didalam PLG (Puslitanak, 1998). Selanjutnya ratusan kilometer dibangun saluran primer sampai tersier untuk keperluan irigasi dan drainase persawahan.

Kawasan PLG merupakan hamparan tanah gambut dengan kedalaman bervariasi dari dangkal sampai sangat dalam (kubah). Tanah-tanah yang dijumpai di areal Eks-PLG adalah jenis Tropohemist, Sulfihemist, Troposaprist adalah kelompok tanah gambut, Fluvaquent, Quartzipsamment (kelompok tanah alluvial atau potensial), Sulfaaquept, Sulfaquent (kelompok tanah Sulfat Masam). Tetapi sebagian sudah terjadi overdrain akibat banyaknya jaringan kanal. Penyebaran gambut tebal (>3 m) terutama di Blok C, sebagian di Blok B dan Blok A. Gambut tebal tersebut diarahkan sebagai kawasan lindung dan perlu di konservasi. Selain itu dijumpai juga tanah sulfat masam pada seluruh wilayah kerja Proyek PLG, dimana yang paling luas adalah di Blok D (Tim Kaji Ulang, 1998).

Kedalaman Sulfidik di daerah ini menurut hasil kajian Deptan (2006), bervariasi yaitu dari dangkal (0–50 cm), sedang 50–100 m, dan dalam >100 m. Tetapi sebagian besar kubah dan gambut sudah terjadi overdrain akibat banyaknya jaringan kanal. Kadar air tanah biasanya ditentukan oleh curah hujan dan tingkat evapotranspirasi – aliran air tanah relatif terbatas. Pembangunan sistem saluran secara besar-besaran dan penebangan hutan mengakibatkan terjadinya degradasi dan telah merusak mikro-topografi. Muka air tanah akan sangat bervariasi, dimana saat hujan banyak area yang tergenang tetapi saat kemarau kondisi menjadi sangat kering.

Proyek ini tidak berhasil dengan baik karena wilayah percontohan seperti daerah Lamunti dan Dadahup di Kabupaten Kapuas ternyata kurang memberikan hasil yang memuaskan. Akhirnya dicabut pada tahun 1998 dengan dikeluarkanya Kepres No. 80 Tahun 1998. Kemudian pemerintah mengeluarkan Inpres No. 2 Tahun 2007 tentang percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah. Implementasi rencana induk yang disusun mengalami kendala karena masih terbatasnya dana dan pengetahuan tentang pengelolaan gambut yang berkelanjutan.

Saat ini, penggunaan lahan gambut eksisting di eks PLG terdiri atas 6 (enam) tutupan lahan dominan, yaitu lahan rawa tanpa vegetasi besar, perkebunan dan kebun campuran. Selanjutnya tutupan lahan yang cukup luas adalah sawah, semak belukar dan lahan terbuka non rawa.

Kanal dan Daerah Rawan Kebakaran di Kawasan Eks Proyek Lahan Gambut

Kombinasi dari perusakan hutan, pembukaan lahan dan peristiwa iklim El Nino yang sangat parah pada tahun 1997 menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut yang paling parah yang pernah dikenal di wilayah ini. Polusi udara terburuk karena kabut dari api masuk sejarah Asia Tenggara, terjadi selama yang terkuat El Nino acara 1997-98, yang merupakan El Nino terkuat sebelum 2011, Kabut padat menyebabkan polusi udara ini dirilis terutama dari hutan dan kebakaran gambut di Indonesia (Heil dkk., 2006). Page dkk (2002) memperkirakan bahwa 810 – 2570 Mt karbon dipancarkan selama insiden kebakaran tinggi pada tahun 1997.

Sejak itu, daerah ini merupakan tempat yang paling rawan kebakaran dibandingkan wilayah lainnya di Kalimantan bahkan Indonesia, dengan minimal 5.000 hotspot per tahun. Di bawah kondisi sangat kering akibat peristiwa El Nino yang ditandai dengan ONI (Oceanic Niño Index) lebih besar dari +0.5, kejadian kebakaran terparah selama 10 tahun terakhir dengan >1.000 hotspot terjadi di lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas serta Barito Selatan (Putra dan Hayasaka 2011, Yulianti dan Hayasaka, 2013, Yulianti dkk, 2014).

Kebijakan Tingkat Provinsi Paska Kebakaran 2014/2015

Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk Presiden Jokowi menargetkan target restorasi lahan gambut di tujuh antara lain Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jambi, Riau dan Papua. Kegiatan restorasi di provinsi-provinsi tersebut diharapkan mampu menurunkan angka karhutla di masa depan. Dalam rangka menunjang pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan diperlukan Peraturan Daerah (Perda) di tingkat provinsi.

Provinsi yang sudah pernah memiliki perda tentang karhutla adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menerbitkan Perda Nomor 8 Tahun 2016. Pasal 3 menyatakan adanya larangan setiap orang dan atau badan hukum untuk membakar hutan dan/atau lahan. Sementara pembakaran hutan dan/atau lahan diijinkan untuk tujuan khusus antara lain pengendalian kebakaran, pembasmian hama dan pembinaan habitat tumbuhan dan satwa setelah meperoleh ijin pejabat setempat. Setiap orang yang melanggar bisa dikurung paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak 50 juta.

Pemerintah Provinsi Jambi menerbitkan Perda Nomor 2 Tahun 2016. Pasal 5 menyatakan adanya larangan setiap orang dan atau badan hukum untuk membakar hutan dan/atau lahan. Apabila akan membuka lahan diwajibkan melaporkan dan memperoleh izin dari pemerintah daerah terdekat. Setiap orang atau pemegang izin yang dengan sengaja dan/atau karena kelalaiannya menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan diancam dengan pidana sesuai peraturan perundang-undangan Raperda tentang tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan Provinsi Riau baru diinisiasi rapat paripurna yang dilaksanakan di DPRD Provinsi Riau Tahun 2017. Salah satu hal yang akan dibahas dalam perda tersebut adalah pemberian izin kepada masyarakat umum untuk membakar lahan seluas maksimal 2 hektar.

Hal tersebut sesuai dengan Undang- Undang No 32 Tahun 2009 Pasal 69 sebagaimana dimaksud ayat 2, ada ruang bagi masyarakat untuk memiliki izin membakar lahannya dengan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh masyarakat sesuai dengan kearifan lokalnya diantaranya adalah jenis tanah, pemasangan sekat-sekat untuk membatasi lahan yang di bakar, dan sebagainya yang masih dalam pembahasan.

Raperda tentang Revisi Perda Kalimantan Barat No. 6 tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. Perda ini memuat diperbolehkannya masyarakat membakar lahan. Hal itu dipandang akan berpotensi terjadinya kebakaran lahan akibat pembakaran yang dilakukan masyarakat. Ada beberapa poin penting yang juga dipandang perlu dilakukan revisi. Di antaranya memuat ancaman hukum terkait aktivitas pembakaran hutan dan lahan dalam UU dan Perda sebagaimana termaktub didalamnya, mulai dari hukuman kurungan minimal enam bulan hingga maksimal 15 tahun dan denda Rp. 50.000, hingga Rp. 10.000.000.000. Kemudian, terhadap lahan yang dibakar akan dikenakan status quo sebagai bukti terjadi kejahatan dan dilarang dimanfaatkan oleh siapapun juga sampai keputusan hukum yang tetap.

Rancangan Peraturan Daerah tentang Revisi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Raperda baru yang berasal dari pemerintah provinsi (Pemprov) Kalteng itu diajukan pada rapat paripurna (Rapur) ke-2 masa sidang di gedung DRRD Kalteng Tahun 2017. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah berencana memperbolehkan komunitas kearifan lokal membersihkan lahan dengan cara membakar dengan berbagai ketentuan agar tidak menimbulkan bencana kabut asap. Membersihkan lahan dengan cara membakar nantinya hanya diperbolehkan bagi peladang yang lahannya untuk kegiatan ekonomi atau penyediaan pangan menurut kearifan lokal yang sudah turun-temurun terjadi pada komunitas lokal Kalteng.

Kebijakan Nasional Paska Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2014/2015

Pemerintah Indonesia telah memiliki perundangan yang mengatur tentang perlindungan terhadap hutan dan lahan sebelum terjadinya karhutla parah tahun 2015, yaitu diantaranya dengan Undang-undang RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) sebagaimana dimaksud Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 Pasal 56 yang antara lain menyatakan: Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar, dan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun. Pasal 67
UU No. 39 Tahun 2014 tetapi tidak ada di UU No. 18 yang antara lain berbunyi, Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup, sebelum memperoleh izin Usaha Perkebunan, Perusahaan Perkebunan harus membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan system tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran.

Sementara itu terdapat pula peraturan yang menjelaskan tentang membuka lahan dengan cara membakar disebutkan sebagai kearifan lokal dalam UU No. 32 Tahun 2009 pada Penjelasan Pasal 69 Ayat (2) yang menyatakan bahwa kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Pasca-kebakaran terkait El Nino yang sangat kuat pada tahun 2015, Badan Restorasi Gambut (BRG) didirikan melalui Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016. Tugas utamanya adalah mempercepat pemulihan dan pemulihan fungsi hidrologis gambut yang rusak akibat kebakaran dan drainase sekitar dua juta hektar hingga 2020. Adapun target capaian sebagaimana dimaksud yang harus diselesaikan per tahun ditetapkan sebagai berikut: Tahun 2016 sebesar 30% (tiga puluh per seratus); Tahun 2017 sebesar 20% (dua puluh per seratus); Tahun 2018 sebesar 20% (dua puluh per seratus); Tahun 2019 sebesar 20% (dua puluh per seratus); dan Tahun 2020 sebesar 10% (sepuluh per seratus). Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi prioritas yang ditargetkan untuk restorasi gambut dengan menerapkan prinsip-prinsip rewetting, revegetasi dan revitalitation masyarakat (3R) karena dampak negatif yang cukup besar dialami masyarakat selama bertahun-tahun.

Pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan PP Nomor 57 tahun 2016 tentang perubahan PP Nomor 41 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Peraturan ini mencantumkan kriteria baku kerusakan ekosistem gambut dengan funsi lindung yaitu terdapat drainase buatan, tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa dan terjadi pengurangan luas dan/atau volume tutupan lahan. Sedangkan, kriteria baku kerusakan gambut pada kawasan budidaya diamati berdasarkan muka air tanah lebih dari 0,4 (nol koma empat) meter di bawah permukaan gambut pada titik penaatan.

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut yang menyebabkan kerusakan ekosistem gambut di dalam atau di luar areal usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pemulihan dengan cara suksesi alami, rehabilitasi, restorasi, dan/ atau cara lainnya yang sesuai dengan perkembangan ipteks.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 tahun 2016 tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan diterbitkan sebagai pedoman dalam penanganan karhutla di Indonesia. Menurut Permen ini pada paragraph 2 mulai pasal 51 disebutkan bahwa setiap pelaku usaha di wilayah hutan seperti IUPHHK-HA dan IUPHHK-HTI menyiapkan sarpras untuk menunjang kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Selain itu, dalam hal terjadi krisis karhutla di wilayah kabupaten, kota dan provinsi, aktifitas koordinasi wajib diintensifkan frekuensinya melalui Posko Krisis Kebakaran Hutan dan Lahan setempat. Kepolisian Republik Indonesia juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pengendalian karhutla yang menyatakan bahwa tindak pidana yang terkait karhutla mencakup tidakan seperti membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar, membuka hutan, membakar lahan, kelalaian yang mengakibatkan karhutla dan terlampauinya baku mutu udara ambien. Pelaku pembakaran baik perorangan maupun korporasi dapat dikenakan pidana penjara dan denda sesuai peraturan yang berlaku.

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Kehilangan ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Kebakaran hutan menghancurkan habitat dan hubungan dari beragam flora dan fauna yang menyebabkan hilangnya ekosistem dan keanekaragaman hayati. Kejadian ini dapat mengubah atau membunuh tanaman hidup yang mendukung kehidupan ribuan satwa liar sehingga memaksa hewan keluar dari daerah tersebut atau bahkan membunuh mereka. Hewan yang lebih kecil dan langka termasuk burung, tupai, serangga, kelinci, dan ular terutama di risiko tinggi kematian, sedangkan beberapa spesies tanaman yang dibakar menjadi abu. Selain itu, kebakaran hutan bahkan dapat menyebabkan kepunahan hewan langka tertentu.

Degradasi hutan.

Kebakaran hutan terutama yang terjadi di hutan tropis adalah penyebab utama degradasi hutan. Setiap kali kebakaran terjadi, maka ribuan hektar pohon dan tutupan vegetasi yang hilang terbakar. Pohon-pohon besar yang merupakan sumber cadangan dan penyerap karbon serta penyimpan air semakin berkurang setiap tahun akbibat kebakaran yang berulang. Hal ini mengakibatkan buruknya kualitas udara dan menurunnya simpanan air di bumi.

Penurunan kualitas udara dan polusi udara.

Pohon dan vegetasi penutup di hutan umumnya bertindak sebagai pemurni udara yang kita hirup dengan menyerap karbon dioksida dan gas rumah kaca serta kotoran udara lain dan menghasilkan oksigen. Ketika pohon dan vegetasi tersebut dibakar, itu berarti lebih gas rumah kaca meningkat di atmosfer, yang mengakibatkan pemanasan global. Selanjutnya, sejumlah besar asap dan debu yang dibuang ke atmosfer, menyebabkan polusi udara seperti terjadi di Palangka Raya pada tahun 2015.

Asap terdiri dari partikel kecil (partikulat) abu, bahan bakar sebagian dikonsumsi, dan tetesan cairan. Produk pembakaran lainnya termasuk gas tak terlihat seperti karbon monoksida, karbon dioksida, hidrokarbon, dan sedikit oksida nitrogen. Kebakaran di malam hari bisa berbahaya lagi karena inversi suhu mungkin sebagai perangkap asap dekat tanah. Asap tersebut akan menurunkan visibilitas yang serius, terutama di kelembaban tinggi, contohnya akibat campuran asap dengan dengan kabut.

Kabut Asap di Palangkaraya September 2018


Degradasi tanah.

Kebakaran menyebabkan kerusakan langsung terhadap lingkungan tanah, dengan membakar konstituennya. Akibatnya, tanah kehilangan kesuburannya dan kondisi kimia alami serta komposisi nutrisi. Kebakaran ini juga membunuh mikroorganisme tanah yang bermanfaat yang bertanggung jawab untuk dekomposisi tanah dan mempromosikan aktivitas mikroba tanah. Pembakaran pohon dan vegetasi penutup juga meninggalkan tanah pada kondisi terbuka yang membuatnya rentan terhadap erosi tanah

Kerugian ekonomi.
Kerusakan langsung dari kebakaran hutan terhadap tanah, satwa liar, rumah, dan hampir segala sesuatu di jalan. Jutaan uang yang dihabiskan selama dan setelah kebakaran hutan untuk memadamkan, membangun kembali dan merehabilitasi apa yang telah hancur. Ketika kebakaran tersebut menyebar ke lahan pertanian, maka tanaman dan hewan akan ikut terbakar. Kerugian sama dialami ketika kebakaran menyebar ke tempat rekreasi. Kerugian ekonomi yang terkait dengan kebakaran hutan yang besar dan parah.

Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Pohon dan tutupan vegetasi bertindak sebagai pelindung DAS sejak awal. Setiap kali mereka terbakar, sistem perlindungan alami untuk muka air, aliran sungai, dan sungai sendiri mungkin akan terpengaruh.

Dampak terhadap kesejahteraan dan kesehatan manusia.

Kebakaran hutan telah menyebabkan korban jiwa, terutama petugas pemadam kebakaran
dan tim penyelamat. Selain itu, efek asap dan debu dengan kandungan gas beracun juga menyebabkan ketidaknyamanan pada pernapasan dan dapat akan memperburuk kesehatan orang dengan alergi dan gangguan pernapasan. Bahkan ada beberapa kasus di beebrapa negara tentang kematian terutama balita dan manula akibat terpapar polusi asap.