Fitrah Manusia

Fitrah Manusia

Fitrah manusia adalah potensi asasi tertentu yang ada pada diri manusia sejak lahir.

FIRMAN Allah ta'ala: "Laqod khalaqnal Insana fi ahsani taqwim.” (Sungguh Kami telah ciptakan manusia dalam sebaik-baiknya acuan). Bentuk yang terbaik atau yang hakiki.( QS.Ath-Thin 4)

Dan, Allah azza wajalla telah membuat agreement atau perjanjian kepada seluruh arwah di alam Azalie atau alam Lahut (nuansa ilahi) di negeri asal. (QS.7:172 & 76:1)

SUATU perjanjian primordial yang merupakan perjanjian Allah ta'ala dengan semua arwah manusia untuk mengenal Allah saja, Robb sebagai Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemelihara semesta alam, termasuk pendidik manusia. Maka esensi atau hakikat insan adalah Ruh-Qudsie yang memiliki sifat suci atau asli dan fitri yang hanya mengenal Allah. Dan tersimpan serta terpatri di dalam lubuk hati seluruh sifat dan asma Allah.



Ruh telah menyaksikan atau musyhadah ke seluruh sifat Ilahi yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, sehingga membentuk:

1. Rasa takut atau khasyyah. Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang sehingga membuat: 2. Rasa harap atau raja. Yang Maha Indah, Maha Mulia sehingga melahirkan: 3. Rasa senang atau surur, senang keindahan, kemuliaan. Yang Maha Shamad, Maha Tinggi sehingga menciptakan: 4. Rasa keberagamaan dan spirit kebenaran yang toleran (al-hanafiyyah As-samhah).

Sungguh benar Sabda Rasul SAW, "Setiap bayi yang terlahir dalan keadaan fitrah atau suci, memiliki watak hanief atau memiliki kecenderungan kepada kebenaran, Maka kedua orangtuanya atau lingkungannya (syaitan dan hawa nafsu) yang membentuk dan mempola jiwa manusia ke arah penyimpangan prilaku dan pendangkalan intelektual.”

Fitrah manusia adalah potensi asasi tertentu yang ada pada diri manusia sejak lahir. Ada pun fitrah manusia antara lain:



1. Fitrah Tawhid yang merupakan potensi dasar yang hanya mengenal keesaan Allah azza wajalla (monotheisme).

2. Fitrah Hanief yang merupakan potensi dasar yang hanya mengenal kebenaran dan jiwa yang lurus. (QS.Ar-Rum.30) "Maka hadapkanlah dirimu (Nabi Muhammad & umatnya) dengan lurus dan mantap kepada agama (sistem hidup), Menurut fitrah Allah (ciptaan Allah) yang menciptakan fitrah itu pada manusia (keserasian syariat Islam dengan fitrah insani). Tiada dapat diubah (hukum-hukum) ciptaan AlIah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”

3. Fitrah Mempertahankan Hidup dengan sandang, pangan, dan papan. (QS. Al Baqarah : 168/ QS. An Nahl : 19)

Dalam memenuhi fitrah yang ketiga ini, hendaknya manusia melakukan pemenuhan kebutuhan dengan:

Jenis makanan dan usaha diperolehnya dengan cara yang halal dan thoyyib menurut Allah SWT, sehingga membentuk jiwa yang lurus, qolbu yang tenang, dan akhlak perilaku yang mulia.

Jenis makanan yang baik atau thoyyib sehingga membentuk tubuh yang kuat-sehat dan akal yang cerdas.

Memelihara, memanfaatkan dan mengembangkan hasil alam atau Bumi sesuai dengan aturan main Allah SWT tanpa merusak ekosistem alam. "Jangan merusak dimuka Bumi, sesudah Allah memerbaikinya, tapi berdo'alah kepada-Nya, karena ketakutan dan kerinduan. Sesungguhnya rahmat Allah dekat kepada orang yang berbuat kebaikan." (QS.AI-A'raf 56)

Jangan memanfaatkan hasil Bumi secara berlebihan atau israf. “Makan dan minumlah hendaknya jangan berlebih-Iebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih lebihan.” (QS. 7 : 31 dan QS. 6 : 141)

4. Fitrah Berkeluarga. Dengan melangsungkan hidup bersuami istri, karena Allah SWT menciptakan manusia berpasangan. (QS.16: 72). Dan menganjurkannya untuk menikah sesuai dengan fitrah insani bukan seperti hewan. (QS. An Nur : 32-33). Agar tercipta ketenangan dan kedamaian (sakinah), maka rumah tangga dibentuk dengan cinta dan kasih sayang, mawaddah-rahmah. (QS. Ar Rum 21)

5. Fitrah Membela Hidup dengan memersiapkan segala macam kekuatan untuk memertahankan eksistensi hidup. (QS Al Anfal 60). Al Islam hanya membolehkan defensif, tidak boleh atau membolehkan memulai sesuatu hal yang bersifat agresor. (QS. Al Baqarah 194). Pembelaan hidup menurut Islam berlaku atas lima perkara yang utama: Membela agama, jiwa, akal, nama baik keturunan, dan harta. Apabila mati karena membela dan memertahankan hidup, maka Islam memandang itu mati terbaik (syahid).

6. Fitrah Intelek atau Akal. Innad Dina huwal Aqlu. Intelek Islam adalah ‘Agama dan akal’. Orang yang akalnya belum berkembang adalah sifat dari anak-anak, Orang yang akalnya tidak berfungsi maka ia adalah orang yang sedang tidur. Orang yang akalnya sudah rusak adalah orang gila atau orang yang kejiwaannya terganggu, sehingga ia tidak dibebani hukum agama. (Hadits, Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah).

Al Quran mendorong manusia untuk berpikir, merenung, meneliti, dan sebagainya. Afala ta'qilun - afala tatafakkarun - afala tanjhurun. Sehingga sampai kepada khulashah atau kesimpulan: "Bahwa segala sesuatu ini ada Penciptanya yaitu Allah SWT. dan diciptakan dengan maksud serta tujuan tertentu bukan percuma. Robbana ma khalaqta hadza bathil "a" (QS. Ali Imran : 190-191).

7. Fitrah Nilai Spiritual. Fitrah asli dan perasaan yang semurni - murninya dalam jiwa manusia adalah kerinduan kepada dekapan Allah Maha Kuasa dan Maha Ghaib. Al-Qadir-Al-Bathin

Ekosistem keseimbangan pada alam semesta yang tertata dengan baik dan sempurna, maka alam akan selalu bersahabat dengan manusia karena pada diri manusia telah terbentuk ‘pola tawazun’ atau keseimbangan.

"Langit Ia tinggikan dan diadakan-Nya n e r a c a (keadilan atau keseimbangan) supaya jangan kamu sebagai manusia melampaui batas timbangan." (QS. Ar Rahman : 7-8)

Manusia harus memadukan dan menselaraskan serta mengaplikasikan potensi- potensi nikmat dengan:

1. Selalu berdzikir, maka kita akan merasa selalu diawasi oleh Allah (muraqabah). Selain itu dengan kita eksis mengingat-Nya dan menyebut, mengikrarkan keesaan-Nya (La ilaha illallah). Sehingga qolbu tunduk dan bersih, kelak menumbuhkan iman yang dapat merundukkan jiwa raga ke hadirat Allah dengan tangis, khusyuk dan tawakal, selalu terikat dan tertuju untuk mengenal Allah azza wajalla (marifat), paradigmanya hanya untuk menggerakkan abdi-Nya mendekat terbuka dan terang benderang di bawah cahaya Ilahi yang indah dan dalam, serta menyentuh qolbu membakar syaitan dan nafsu untuk mereguk nikmat di dalam mahabbah-Nya, sehingga membuat tenang dalam mutmainnah, tenggelam menghilang menuju ridha di sisi-Nya. Ilahi Anta maqshudi waridhaka math lubi,A'thini MahabbataKa wa Ma'rifataKa. (Ya Allah hanya Engkau yang kami tuju dan keridhaan-Mu yang kami cari, Berilah kami potensi untuk dapat Mencintai-Mu dan terang Marifat-Mu).

2. Selalu berpikir, merenung serta tafakur, dan mengobsesrvasi ciptaan Allah dari alam mikro cosmos sampai alam makro cosmos, sehingga akal kagum dan tunduk akan kebesaran-Nya dan keperkasaan-Nya. Dengan berharap memeroleh ilmu yang akan dapat mengantarkan jati diri manusia pada tingkat martabat mulia menjadi manusia mukmin sejati. Beramal shaleh Ilmiyyah dan berilmu shahih Amaliyyah untuk meraih sukses mengarungi bahtera kehidupan. Keseimbangan konstruktif dapat berfungsi mengeraskan daya tarik samawi ( mental-spiritual ) dan daya dorong ardhi ( fisik-material ). Sedangkan ketimpangan antara dzikir dan pikir akan melahirkan instabilitas dalam kehidupan. (QS.An-Nahl 97)

"Sungguh luar biasa urusan atau perkara orang beriman, seluruh urusannya selalu baik. Bila bencana menimpa pada dirinya maka ia bersabar, hal itu baik baginya. Bila karunia datang kepadanya ia bersyukur, maka hal itu baik baginya. (Al-Hadits).

Kesabaran sebagai kendaraan hidup, sabar dalam perjalanan hidup manusia menuju ridha Allah dengan mengendalikan desakan hawa nafsu, memilih untuk eksis di jalan Allah dalam menghadapi cobaan, merupakan tantangan dan benturan-benturan hidup. Salah satu cobaan atau ujian hidup yang dominan adalah anak. Allah SWT berfirman, "Ketahuilah bahwa kekayaanmu dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu, Dan bahwa Allah, pada-Nya-lah pahala yang besar. (QS.AI-Anfal 28)

"Hai orang yang beriman, di antara istri-istrimu dan anak-anakmu, ada yang menjadi musuh bagimu. Maka waspadalah terhadap mereka, akan tetapi bila kamu maafkan, kamu tiada marahi mereka, dan ampuni kesalahan mereka, sungguh, Allah maha pengampun, maha penyayang.” (QS. At-Taghabun 14)

Sungguh mulia nan luhur tuntunan Ilahi bagi insan pencari kebenaran yang hakiki dan fitri. Bila manusia mendapatkan serta menghadapi ujian atau cobaan hidup, bila dia dapat bersabar, tabah serta memertahankan, memadukan fungsi dzikir-pikir dan iman-ilmu dengan ibadah sholat sunnah taubat dan kembali kepada Alllah, dengan mengakui dan menyesali kesalahan serta kealfaan diri

(hablum-minallah). Sekaligus mengintrospeksi atau ber-muhasabah dan memelajari kesalahan serta kealfaan diri (hablum-minannas), dengan sholat hajat untuk melepaskan ‘cobaan hidup’ agar Allah memantapkan dan menolongnya menjadi hamba mukmin yang ulet, tabah, sabar dan gigih serta istiqamah. ( QS. Ali Imran 200)

Bila manusia mukmin mendapatkan dan merasakan kesenangan atau kenikmatan hidup, dan dia bersyukur dengan menunjukkan kesadaran akan seluruh nikmat Allah, karena dengan rahmat-Nya manusia masih diberi hidup dan sehat hingga sampai saat ini, dengan rahim Allah pula manusia mukmin masih sanggup menjalani ibadah serta merasa senang, karena Dia masih menolong dan mengayomi orang beriman dalam menghadapi kesulitan hidup, bersikap selalu melihat ke bawah, orang yang masih hidup dalam kesulitan, maka tetap memertahankan dzikir-pikir dengan ibadah shalat sunnah syukur-serta mengaplikasikan potensi dan karunia Allah yang masih eksis pada diri manusia. Qolbu yang hanya tunduk kepada Allah SWT yang maha mengetahui segala yang ghaib-serta misteri dalam kehidupan, akal yang sehat tertuju kepada Allah SWT yang maha mengetahui segala yang nyata (Asy-Syahadah), nampak dalam kehidupan. Tubuh yang kuat melaksanakan seluruh titah Allah yang maha Asy-Syakur atau bersyukur (Ia selalu mengingat dan menghargai jasa dan kebaikan hamba-hamba-Nya). Sebagai realisasi dari hablum-minannas. Sekaligus selalu mengingat dan membalas jasa kebaikan manusia, terutama kepada kedua orangtua, pahlawan tanpa pamrih dan tanda jasa, dengar. melaksanakan ibadah sholat sunnah hajat untuk ‘nikmat hidup’, agar Dia memantapkan dan menolongnya menjadi hamba yang pandai bersyukur. (QS. Ibrahim 7)

“Ya Allah Robb kami! Limpahkanlah kesabaran atas kami, kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah 250).

“Ya Allah Robb-kami! Ilhamilah kami, agar selalu mensyukuri nikmat yang Kau berikan kepadaku dan kepada orangtuaku, dan agar aku melakukan amal saleh yang Kau ridhai, masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba – hamba- Mu yang sholeh.” (QS. An-Naml 19).

8. Fitrah Sosial. Al Quran menyatakan manusia adalah umat yang satu. (QS. Al-Baqarah 213), dan dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal atau At-Taaruf. (QS.49:13). Dengan keimanan, manusia dilarang saling memperolok satu sama lain, karena kemuliaan itu sesungguhnya hanya di sisi Allah SWT adalah takwa atau amal sholeh yang dilandasi iman dzikir dan ilmu pikir, dan saling menolong dalam kebaikan bukan membantu dalam berbuat dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah: 2).

9. Fitrah Susila/Akhlak. Akhlak menunjukkan sejumlah sifat tabiat fitri (asli) pada manusia dan sejumlah sifat yang diusahakan hingga seolah-olah fitrah. Dua bentuk akhlak yaitu: 1. Bersifat basyariyyah, kejiwaan; 2. Bersifat jhohiriyyah yang terwujud dalam perilaku.

Ada pun menurut Islam, sejumlah prinsip (mabda) dan nilai yang mengatur perilaku seorang manusia yang dibatasi oleh wahyu untuk mengatur kehidupan manusia dan menetapkan pedoman baginya. Demi merealisasikan tujuan dan kebenarannya di muka Bumi, dengan beribadah kepada Allah SWT untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. "Bagi tiap-tiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu atau al-haya." (Al-Hadits).

Sayyidah Aisyah Rah dari Yazid bin Babnas, "Akhlak atau khuluq Rasul adalah Al Quran, apakah engkau telah membaca Surah Al-Mukminun dan Al-Furqan? tanya Aisyah.”

Dalam surah Al-Mukminun dan Al-Furqan terdapat sifat akhlak terpuji dari Rasulullah SAW yakni khusyuk dalam sholat, menghindari dari omong kosong yang bersifat sia-sia, berzakat, menjaga kehormatan, memelihara amanah dan janji, berjalan dengan hati yang rendah, merespon teguran orang jahil dengan baik dan penuh kedamaian, melaksanakan ibadah tahajud di malam hari, selalu bermohon agar terhindar dari siksa neraka, berkesinambungan dalam memergunakan harta (tidak bersifat boros atau royal dan juga tidak kikir), tidak membunuh jiwa, tidak berzina, tidak memberi kesaksian palsu, menjaga kehormatan diri dari berbicara keji dan sia-sia, memiliki obsesi besar untuk masa depan dan generasi Al Quran.

10. Fitrah Harga Diri. Al Quran memerintahkan agar manusia memelihara dan memertahankan harga diri yang amat tinggi serta martabatnya di sisi Allah SWT. Karena Dia telah menciptakan manusia dan membuat ‘ikatan perjanjian sakral’ dalam bentuk terbaik, sebaik-baiknya acuan. Ruh-Qudsie, jiwa hanief/lurus dan agama fitri. "Laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim.”

Dengan Kehendak atau iradah Allah yang maha kuasa demi penyempurnaan kemanusiaannya dan pendekatan dirinya kepada Allah yang maha dekat. "Di tempat kebenaran di sisi Allah Raja yang menentukan." (fi maq'adin Malikin Muqtadir) di alam Lahut menuju tempat yang paling rendah (Asfala-safilin) yaitu ruh jasmani di alam mulki atau Bumi. “Tsumma radadnahu asfala safilin."

Maka tertutuplah Ruh Qudsie atau jiwa hanief dengan dosa (rona titik hitam dalam qolbu) dan penyimpangan perilaku di alam dunia karena dua ‘keping mata uang’ yang dominan dan inheren yaitu hawa nafsu dan syaitan. Pondasi value atau nilai spiritual sholat telah rapuh sehingga hawa nafsu tidak terkendali dan syaitan telah menguasai kehidupan manusia dengan membuat manusia lupa dari mengingat Allah (Dzikirulloh).

11. Fitrah Seni. Al Quran menganjurkan agar berlomba - lomba dalam hal kebaikan (QS. Al-Baqarah 148). Allah azza wajalla mengutus para Nabi dengan kebajikan. "Allah itu indah, Dia menyukai keindahan." (Al-Hadits). Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk memakai perhiasan yang indah setiap kali ke masjid. (QS. Al-A'raf 131), dan Ia juga menganjurkan kepada hamba-Nya untuk serlalu membaca kalam-Nya dengan suara bacaan yang baik dan indah. (QS. Al-Muzammil, 4).

Begitulah Al Islam. Al Quran mengungkapkan fitrah manusia selaras dengan fitrah agama Islam sebagai agama yang mutlak kebenarannya, untuk memahami sistem yang benar, maka dituntut ‘keserasian yang benar’, karena hal tersebut merupakan tanda keberagamaan yang benar pula.

Adapun fitrah kesucian merupakan himpunan dan akumulasi dari tiga anasir, yakni Benar, Baik dan Indah. Sehingga seorang hamba Allah adalah penyembah atau pengabdi, ia selalu berada dalam fitrah Allah, perilaku yang benar – benar baik dan indah. Bahkan lewat kesuciaan jiwanya ia akan memandang segalanya dengan pandangan yang positif, ia selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah.

Dengan mencari yang Benar, maka akan menghasilkan Ilmu. untuk pencarian yang Baik,maka akan menghasilkan Etika. Sedangkan untuk mencari yang Indah, maka akan menghasilkan menghasilkan estetika atau seni. Dengan pandangan demikian maka ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, maka ia akan selalu mencari nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Kalaupun itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan. (*)

Perbandingan Mahzab

PERBANDINGAN MAZHAB

Oleh: Ust. Izuddin Karimi, Lc.

Tujuan kajian ini adalah untuk menghindari ta’asub (fanatik) buta, sehingga tidak terjadi friksi dengan pihak/golongan lain. Pada prakteknya ternyata memang banyak friksi di lapangan yang seharusnya tidak mesti terjadi. Hal ini karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi yang benar tentang mazhab2 yang ada.

Ada beberapa hal yang perlu disampaikan, Pertama, dalam Islam terdapat empat mazhab fiqih yang terkenal. Urutannya: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Inilah mazhab yang terkenal dalam fiqih Islam. Kedua, walaupun sudah ada ada empat mazhab tidak berarti bahwa semua syariat Islam itu telah dibicarakan oleh ke empat mazhab tersebut. Ini berarti, belum tentu pendapat di luar empat mazhab itu secara otomatis salah. Salah atau tidak mesti menggunakan pijakan dan patokan yang sudah disepakati yaitu quran dan hadits. Ketiga, barangkali ada baiknya ikhwanfillah mengetahui, mengapa hanya empat mazhab? Karena hanya empat mazhab yang lolos dari seleksi alam. Mengapa bisa lolos, sebab imam2 dari ke empat mazhab ini mempunyai pengikut2/murid2 yang rajin mencatat perkataan imamnya yang terus-menerus diwariskan hingga sampai kepada kita. Imam2 yang diwariskan ilmu dari imam yang empat itu belum tentu kadarnya keimanannya di bawah imam yang empat, banyak diantaranya yang juga sangat pandai. Namun pendapat2 mereka akhirnya dinisbatkan kepada pemberi pendapat yang yang pertama, yaitu imam yang pertama.

Semua imam mazhab sepakat bahwa pijakannya tetap Quran dan Hadits, ucapan mereka tentang ajakan untuk kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadits, walaupun dengan redaksinya berbeda2. Maka seperti imam Syafi’i pernah mengatakan: “jika sebuah hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.” Amatlah mungkin imam yang empat itu tidak mengetahui adanya hadits shahih selain pendapat (ra'yu) yang mereka miliki. Karena sarana/prasarana saat itu masih belum semodern sekarang. Jadi sangat mungkin imam yang satu mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan hadits shahih. Imam Ibnu Tayimiyah mengatakan, “Amatlah mungkin hadits tersebut pada waktu itu belum sampai ke telinga sang Imam. Para perawi hadits nabi jumlahnya sangat banyak dan tinggal tersebar di seluruh jazirah arab sehingga sang imam bisa saja tidak mengetahui hadits tersebut.” Kita yang hidup sekarang, harus bisa memaklumi. Biar bagaimanapun juga imam yang empat itu adalah manusia yang mulia yang kadar keimanannya tidak perlu diragukan lagi.

Sebagai contoh, Imam Malik mengatakan puasa 6 hari di bulan Syawal itu tidak ada anjurannya dari Rasulullah. Tetapi ternyata hadits tentang puasa sunnah yang diriwayatkan Imam Muslim ternyata hadits shahih. Kemungkinannya adalah Imam Malik belum mengetahui hadits itu pada saat mengeluarkan pendapatnya.

Sekarang mari kita renungkan, segala aktivitas amal kita, sholat, zakat, wudhu, haji, dll, pakai mazhab apa? Jawaban yang paling sering adalah: Tidak Tahu. Itu jawaban jujur, karena itu kenyataannya. Yang kita tahu bahwa ini berdasarkan hadits shahih Rasulullah SAW. Sebagai seorang muslim memang cukup sampai situ. Bila kita sudah tahu bahwa itu adalah hadits shahih, maka tidak ada tanggung jawab lagi itu mazhab mana, karena derajat pendapat imam mazhab lebih rendah dari hadits shahih. Seorang muslim hanya berkewajiban beramal berdasarkan ilmu yang sudah ia ketahui, bukan ikut2an.

Bermazhab itu bukan suatu hal yang wajib, tetapi kalau kita ingin memilih salah satu diantara empat mazhab, tidak ada satu mazhab yang lebih unggul dari mazhab yang lain. Semuanya setara dan sejajar. Ada sisi2 kuatnya dari suatu mazhab, ada pula sisi2 lemahnya. Kalau kita memilih salah satu, dengan niat untuk mengamalkan, maka silakan beribadah dan beramal sesuai dengan mazhab itu. Cuma persoalannya,kita perlu menyadari bahwa mazhab fiqih itu adalah buatan manusia (ijtihad). Manusia tidak akan luput kesalahan/kekeliruan. Nah, sisi2 lemah ini hendaknya dihindari atau dijauhi.

Perpecahan terjadi di kalangan ummat Islam jauh dari zaman ke-empat imam itu hidup. Pada masa itu Ilmu Islam sudah pada masa jumud (kejenuhan) akibat banyak paham2 sempalan yang menimbulkan sekat2 antar mazhab. Ini yang tidak disadari oleh ummat muslim. Padahal perbedaan itu memang sangat memungkinkan, dalil2 yang dipakai oleh sang Imam ada sisi pembenaran karena memang informasi yang dimiliki oleh sang Imam tidak lengkap.

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang akan adanya kelompok Ali dan kelompok Muawiyah. Singkatnya Ali dan Muawiyah dalam sejarah pernah berselisih. Masing2 punya pendukung. Rasulullah memprediksikan hal ini dalam haditsnya, “Akan muncul kelompok pembangkang pada saat kaum muslimin berselisih yaitu antara Ali dan Muawiyah, kelompok pembangkang ini akan diperangi oleh satu dari dua kelompok dimana satu dari kedua kelompok ini lebih dekat pada kebenaran.” Artinya keduanya sebenarnya memiliki sisi kebenaran. Hanya saja yang satu lebih dekat kebenaran. Nah, dalam hal fiqih itu sama dengan kasus ini. Yang ada adalah pendapat2 Imam itu ada kebenaranya, namun ada satu pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Misalnya yang umum di masyarakat, batalnya tidaknya wudhu dengan menyentuh istri kita. Dalam masalah ini, banyak dalil2 yang dipahami batal, banyak pula yang dipahami tidak batal. Tetapi dari 2 atau 3 pendapat tersebut, pasti ada yang lebih dekat dengan kebenaran, dalam arti memiliki tambatan dalil yang paling kuat. Nah hakikat inilah yang sering tidak dipahami oleh kaum muslimin, sehingga sikap yang muncul adalah dalam kadar yang berlebihan.

Kemungkinan kebenaran dalam hal ijtihadiyah inilah yang menimbulkan pemahaman2 yang berbeda terhadap suatu dalil. Bila seseorang mengeluarkan pemahamannya itu, maka kita bisa pertimbangkan kemudian diterima atau ditolak. Diterima bila memang paling mendekati kebenaran. Ditolak bila sudah nyeleneh dan keluar dari koridor syar’i.

Sesi tanya jawab:

1. Bolehkah kita menggunakan 2 pendapat mahzab yang berbeda di situasi, kondisi dan tempat yang berbeda? Contohnya seperti kasus menyentuh istri setelah wudhu batal atau tidak. Saat ini kita menggunakan dalil batal, namun ketika kita naik haji, kita menggunakan dalil tidak batal.
Jawab: Tidak ada dalil yang melarang. Setiap orang memiliki kecenderungan, berat yang mana yang dia ambil. Seandainya dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kecenderungannya pasti dalam kondisi2 tertentu demi kemaslahatan, silakan ambil pendapat yang marjuh (yang lebih lemah menurut kita). Nabi memberi contoh tentang bangunan Ka’bah. Ka’bah yang sekarang ini tidak sama posisi pondasinya dengan yang dibangun Nabi Ibrahim. Pondasi Ibrahim lebih luas dari yang sekarang kita lihat. Jauh setelah masa Nabi Ibrahim, Ka’bah pernah diperbaiki oleh orang-orang Mekkah. Namun karena dananya tidak cukup, akhirnya dibangun lebih kecil ukurannya dari aslinya. Rasulullah bersabda kepada Aisyah ra, “Seandainya kaumku itu tidak dekat masanya pada kekafiran, niscaya aku akan menghancurkan ka’bah ini dan membangunkannya kembali di atas pondasi Ibrahim.” Maksudnya adalah, karena orang2 Mekkah setelah penaklukan Mekkah itu imannya masih labil, maka Rasulullah memilih tidak menghancurkan Ka’bah. Karena ditakutkan akan adanya fitnah, maka hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah. Inilah tuntutan kemaslahatan. Padahal itu bukan kecenderungan dan pilihan Rasulullah.
2. Bolehkah kita tidak mengikuti satupun dari ke-empat mazhab itu?
Jawab: Tergantung kondisi kita. Kalau kondisi kita seperti saat ini di Indonesia, maka jawabannya tidak boleh. Orang yang bisa lepas dari ke-empat mazhab maka dia sudah harus berada pada derajat Mujtahid. Kalau belum, dia masih berada pada derajat Muqallid. Bila seorang muqallid sudah mengeluarkan ijtihad, maka hasilnya adalah kehancuran. Jadi kita masih membutuhkan peranan para ulama yang mampu menjawab permasalahan yang ada berdasarkan keilmuannya. Mazhab yang empat ini dimaksudkan untuk mendekatkan fiqih yang berkaitan dengan kegiatan manusia sehari2. Memang tidak perlu saklek mengikuti hanya satu saja, tergantung kecenderungan dan kemantapan hati kita.
3. Ke-empat Imam mazhab hidup pada abad 2 Hijriyah. Antara masa Rasulullah dengan imam yang empat itu seperti apakah fiqih yang terjadi?
Jawab: Para sahabat, tabi’in atau tabi’ut tabi’in biasanya mempunyai majelis2 fatwa biasanya dihadiri oleh banyak orang. Sayangnya masih sedikit sekali orang2 yang mencatat fatwa2 imam saat itu.
4. Mungkinkah fiqih2 keseharian itu ditinggalkan saja, karena saat ini sepertinya sudah tidak relevan lagi kecuali fiqih ibadah?
Jawab: Tidak mungkin, karena permasalahan manusia semakin kompleks. Fiqih bukan ditinggalkan namun harus semakin dikembangkan. Seperti saat ini bagaimana fiqih tentang lembaga keuangan syariah (bank, asuransi) atau tentang donor darah, pembedahan cangkok organ, dll.
5. Saat ini amat sulit menemukan kitab2 fiqih khusus dari salah satu mazhab. Apakah kita boleh menggunakan kitab2 seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fiqih Sunnah, atau Fiqih2 Kontemporer lainnya untuk melakukan amaliyah harian?
Jawab: Buku2 pegangan mazhab secara umum masih tertulis dalam bahasa arab. Kenapa di Indonesia kita tidak melihat terjemahnya kami tidak mengetahuinya. Kita boleh mengikuti buku fiqih yang sudah beredar sekarang. Misalnya buku Fiqih Sunnah, sudah diterjemahkan, bahasanya mudah, aplikatif, cuma sayang masih ada beberapa hadits yang menjadi rujukan tidak dijelaskan perawinya. Yang perlu saya tekankan di sini adalah, anda perlu pembimbing. Dan pembimbingnya ini harus yang anda kenal baik, dan dikenal baik oleh orang lain dan tidak pernah mengeluarkan pendapat2 yang aneh.
6. Bagaimana sikap kita menyikapi ta’asuh buta (fanatik buta)?
Jawab: Setahu saya penyakit muncul dari sikap kultus individu (taqlid buta). Maka jangan pernah ta’asuh kecuali kepada Rasul SAW. Penyakit ini hanya bisa diobati dengan pendekatan personal yang intens dan mau tidaknya hati yang didekati itu terbuka.
7. Bagaimana menyikapi perbedaan fiqih?
Jawab: Tidak mungkin kita menyatukan perbedaan pendapat. Bila permasalahan itu adalah suatu kebenaran yang pasti seperti terbitnya matahari dari timur, maka bila ada perbedaan dapat didebat. Tetapi bila persoalan itu merupakan masalah ijtihadiyah, kita tidak bisa memaksakan pendapat imam A kepada pengikut imam B. Sikap toleransilah yang harus diutamakan di sini.

dienul islam

dienul islam


Dienul Islam Wajib Diamalkan Secara Murni

Karena tabiat atau karakteristik dienul Islam merupakan satu-satunya dienul haq, satu-satunya tatanan dan undang-undang hidup yang benar, maka (dien) selain Islam adalah bathil. Allah swt berfirman, Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (terj. QS Al Imran 3 : 19)

Oleh karena itu pengamalan dienul Islam tidak boleh dicampuradukkan dengan pengamalan tatanan dan undang-undang lainnya, karena ini berarti percampuran antara yang haq dengan yang bathil. Allah swt melarang cara pengamalan Islam yang campur aduk seperti itu berdasarkan firman-Nya, Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (terj. QS Al Baqarah 2 : 42)

Pengamalan dienul Islam dengan mencampuradukkannya dengan sistem buatan manusia adalah pengamalan yang keliru. Contoh kongkrit pengamalan dienul Islam seperti ini misalnya, banyak kita saksikan di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, kekuasaan negara berada di tangan kaum nasionalis sekuler yang menolak syari’at Islam.

Para pemimpin sekuler itu mengizinkan kaum muslimin melaksanakan ibadah (shalat, shaum, haji, dll) menurut tuntunan Al Qur’an dan Sunnah, tetapi melarang keras melaksanakan hukum-hukum kemasyarakatan (UU Pidana/Perdata) sesuai dengan undang-undang yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya seperti hudud (potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina), dan qishas. Untuk ini mereka sediakan undang-undang buatan manusia yang bertentangan dengan syari’at Allah dan Rasul-Nya sebagai pengganti. Itulah contoh pencampuradukkan antara haq dengan bathil yang nampak di hadapan mata kita.

Selama umat Islam tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membetulkan pemahamannya tentang dienul Islam, dan berusaha keras untuk merubah cara pengamalannya sehingga sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, maka selama itu pula umat Islam tetap dalam kehinaan, kelemahan, perpecahan dan ketakutan.

Hal ini sudah merupakan aksioma Qur’an. Karena itu berulang-ulang disebutkan di dalam Al Qur’an, bahwa Allah swt memerintahkan agar kaum muslimin hanya mengikuti pimpinan Allah dan Rasul-Nya saja, dan mengamalkan tatanan dan syari’at yang diturunkan kepada mereka dan melarang mengikuti pimpinan lain atau mengamalkan tatanan serta undang-undang yang dibuat oleh selain-Nya. Allah swt berfirman, Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (terj. QS Al A’raf 7 : 3)

Pada ayat lain dengan tegas dan jelas Allah menerangkan bahwa jalan-Nya yang lurus hanya satu dan karena itu wajib diikuti, dan melarang mengikuti jalan-jalan lain yakni undang-undang buatan manusia yang tidak berdasarkan Islam. Allah swt berfirman, dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (terj. QS Al An’am 6 : 153)

Ibnu Mas’ud ra menerangkan cara Rasulullah saw memahamkan ayat ini dalam riwayat di bawah ini, beliau berkata: ”Rasulullah saw membuat satu garis dengan tangan beliau lalu beliau bersabda: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau membuat garis lagi di kanan dan kiri garis yang pertama, kemudian beliau bersabda: “Ini adalah jalan-jalan lain, di atas jalan-jalan ini pasti ada syaitan yang giat menyeru orang agar kamu mengikutinya.” Kemudian beliau membaca ayai ini (QS Al An’am 6 : 153). (HR Ahmad, Hakim dan Ibnu Majah)

Yang dimaksud dengan jalan-Ku yang lurus, menurut At Thabary adalah: “Jalan-Nya dan Dien-Nya yang diridhai-Nya untuk hamba-Nya.” (Tafsir At Thabary juz 3, halaman 382, cetakan pertama th 1994 diterbitkan oleh Muassasah Arrisalah, Beirut)

Sedangkan menurut Imam Asy Syaukani, jalan lurus yang dimaksud adalah: “Jalan yang menyampaikan kepada keridhaan-Ku, yaitu Dienullah.” (Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir oleh Imam Asy Syaukani, halaman 89)

Sebenarnya ayat ini menerangkan bahwa sepuluh wasiat Allah swt yang tercantum pada dua ayat sebelumnya (QS Al An’an 6 : 151-152) itulah jalan-Nya yang lurus. Sepuluh wasiat itu merupakan pokok-pokok penting dalam diennullah baik yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw maupun yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum beliau terutama dalam kitab Taurat. Sepuluh wasiat itu adalah:

  1. Tidak mempersekutukan Allah (jangan musyrik)
  2. Berbakti kepada ibu bapak
  3. Tidak membunuh anak karena kemiskinan (faktor ekonomi)
  4. Tidak mendekati perbuatan keji (Zina)
  5. Tidak membunuh jiwa manusia kecuali yang dibenarkan syari’at Allah
  6. Tidak mendekati atau memakan harta anak yatim
  7. Menyempurnakan takaran
  8. Menyempurnakan timbangan (jujur dalam proses jual beli)
  9. Berlaku adil dalam memberikan keterangan
  10. Menyempurnakan janji dengan Allah (taatilah perintah-Nya dan jauhilah larangan-Nya)

Maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan “jalan-Ku” yang lurus dalam firman Allah di atas adalah Dien-Nya, yakni Dienul Islam.

Ayat dan hadits tersebut dengan jelas menunjukkan suatu perkara penting yang mesti kita pahami dan kita yakini bahwa dienullah (jalan Allah yang lurus itu) hanya satu, sedangkan jalan-jalan selainnya banyak jumlah maupun macamnya.

Hal ini diterangkan ketika Allah menyebut jalan-Nya dengan menggunakan kata mufrad (kata tunggal, singular) yaitu Shiraathii (jalan-Ku). Sedangkan ketika menyebutkan jalan-jalan lain memakai kata jamak (plural, jamak) yaitu As Syubul (jalan-jalan), mufradnya adalah Sabiilun (satu jalan).

Persesuaian ini juga terdapat dalah QS Al Baqarah ayat 257. Di dalamnya Allah menyebutkan kata Adz Dzulumat artinya kegelapan-kegelapan. Maksudnya adalah jalan-jalan yang sesat. Ini menunjukkan banyak, dan Allah menyebutkan An Nuur artinya cahaya, yaitu jalan yang lurus, ini menunjukkan hanya satu.

Dari ayat dan hadits tersebut dapat disimpulkan:

  1. Bahwa jalan yang lurus hanyalah satu, yakni jalan Allah (dienul Islam)
  2. Bahwa jalan hidup selain dienul Islam jumlahnya banyak
  3. Bahwa jalan hidup selain jalan Allah adalah sesat, apapun namanya dan bagaimanapun bentuknya
  4. Bahwa umat Islam diwajibkan hanya mengikuti satu jalan, yakni jalan Allah (dienul Islam) saja
  5. Bahwa umat Islam dilarang mengikuti jalan-jalan selain dienul Islam.

Ini berarti umat Islam wajib mengamalkan dienul Islam secara murni tanpa dicampur dengan pengamalan unsur-unsur dien lainnya.