Restorasi Gambut

Hello Sobat

Selamat Datang di Blog Ini, semoga informasi yang saya kompilasi bermanfaat buat sobat

Efektifitas Revegetasi Mangrove Menggunakan Alat Pemecah Ombak Dari Pohon Nibung

Efektifitas Revegetasi Mangrove Menggunakan Alat Pemecah Ombak Dari Pohon Nibung

Sebagai negara benteng terakhir penghasil oksigen, Indonesia patut berbangga sebagai negara dengan jumlah hutan yang luas—meski laju deforestasi juga mengkhawatirkan. Lebih mengejutkan lagi, berdasarkan hasil penelitian dari CIFOR, hutan mangrove Indonesia disebut menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare dibandingkan dengan hutan tropis. Belum lagi dengan produksi oksigen oleh lamun dan fitoplankton. Maka perlu dilakukan kegiatan revegetasi mangrove yang efektive dan efisien.

Selain berperan sebagai penghasil oksigen, mangrove juga sangat berperan dalam menjaga biodiversitas lingkungan, yang mana secara ekologi, mangrove berperan sebagai pendukung berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Selain itu, secara ketahanan dan keamanan negara, secara tidak langsung mangrove juga turut berperan, di mana mangrove berfungsi untuk menjaga garis pantai agar tidak terabrasi. Dengan struktur pengakaran yang unik dan khusus untuk beradaptasi dengan kandungan salinitas dan empasan gelombang, mangrove menjadi benteng utama yang menjaga agar kawasan pesisir tidak tergerus oleh gelombang.

Namun, kenyataan seringkali pahit. Berdasarkan data FAO (Organisasi Pangan Dunia, PBB) dalam tiga dekade terakhir, Indonesia sudah kehilangan 40% mangrove, yang berarti, Indonesia memiliki kecepatan kerusakan mangrove terbesar di dunia [1]. Menurut data yang dihimpun dari Biro Humas Kementerian LHK pada tahun 2015, Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia sebesar 3.489.140,68 Ha, dengan panjang garis pantai sebesar 95,181 km2 serta memiliki keanekaragaman hayati yang paling tinggi. Kalau diestimasikan, luas ekosistem mangrove Indonesia setara 23% ekosistem mangrove dunia yaitu dari total luas 16.530.000 Ha. Dari luas mangrove di Indonesia, diketahui seluas 1.671.140,75 Ha dalam kondisi baik, sedangkan areal sisanya seluas 1.817.999,93 Ha sisanya dalam kondisi rusak [2].

Tingginya kerusakan mangrove di beberapa daerah di Indonesia, setidaknya berhasil membuat seluruh pihak—baik pemerintah, swasta, maupun perseorangan—bahu membahu berjuang untuk menyelamatkan mangrove yang sudah telanjur rusak. Pemerintah dengan dana APBN maupun pinjaman luar negri (terbaru pemerintah berupaya untuk menanami kawasan pesisir yang terancam abrasi. Begitu juga dengan swasta maupun kelompok penyelamat lingkungan. Kendati demikian, upaya penanaman kembali atau rehabilitasi lahan mangrove yang sudah rusak, ternyata tidak semudah dengan melakukan perusakan itu sendiri. 

Kebanyakan, penanaman mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak menemui kegagalan. Bibit mangrove yang ditanami, tidak banyak yang bertahan hidup sampai dewasa. Logikanya, mangrove memang mampu menahan gelombang—namun tentu saja itu adalah mangrove dewasa yang merumpun dan zonasinya lengkap serta sehat. Hal itu tentu tidak akan berlaku bagi propagul alias bibit mangrove yang baru tumbuh. Tentu saja ketika menanam bibit mangrove tanpa ada penahannya akan mengakibatkan bibit tersebut hanyut terbawa gelombang. 

Untuk mengatasi hal ini, akhirnya upaya penanaman mangrove di lahan kosong, seyogyanya membutuhkan alat pemecah ombak (APO) untuk menggantikan peran mangrove dewasa sebagai penahan dan pemecah gelombang, baik itu dengan berbagai struktur solid pemecah gelombang, seperti tetrapod, batuan karang, maupun struktur lunak menggunakan hybrid engineering. 

Pemanfaatan Nibung Sebagai Pagar APO 

Nibung telah ditetapkan sebagai flora khas identitas Provinsi Riau. Pasalnya pohon ini sudah lama menyatu dengan kehidupan masyarakat Riau. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa tempat, yakni Tanjung Nibung, Teluk Nibung, yang mengabadikan nama tumbuhan tersebut. Selain itu keterkaitan ini tampak pula dalam pantun ataupun ungkapan tradisionalnya. Pemanfaatan nibung Sebagai Pagar APO telah diterapkan di Desa Pangkalan Jambi, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau. 

Pemanfaatan nibung sebagai APO tergolong berhasil dalam mencegah abrasi Pantai di Pangkalan Jambi, sekaligus berhasil melindungi pertumbuhan Avicennia. Keberhasilan Nibung sebagai APO dikarenakan sifat kayunya yang tahan lapuk (sampai belasan tahun), kemudian tahan terhadap empasan gelombang.

Adapun spesifikasi nibung yang sudah bisa dijadikan APO adalah nibung dengan ukuran minimal 4” (empat inci) atau dengan diameter kurang lebih 14-15 cm dan keliling sekitar 47 cm. Untuk penggunaan Nibung sebagai Pagar APO batang dibung dibelah 2,sehingga untuk satu batang Nibung dengan diameter 14 cm dapat membuat APO sepanjang 28 cm. Untuk mendapatkan Pagar APO sepanjang 1 meter dibutuhkan 4 potong kayu nibung. 

Ketinggian APO yang dipasang di Pesisir Desa Pangkalan Jambi yaitu setinggi 60 cm dari permukaan lumpur, sedangkan yang tertanam didalam lumpur sepanjang 30-40 cm. Sehingga untuk membuat Pagar APO sepanjang 1 meter dibutuhkan 4 Potong Nibung dengan Panjang Potongan 1 meter. 

Tabel. Perkiraan kebutuhan Biaya untuk pembuatan APO nibung sepanjang 1 meter:


Dengan pembangunan pagar APO dari Nibung sepanjang 100 meter disepajang bibir pantai, berpotensi menanam 1000 batang bibit Avicennia yang terjamin tinggi pertumbuhannya. Namun, tetap dibutuhkan kajian ilmiah terlebih dahulu terkait pasca pemasangan pagar APO, “Seberapa lama waktu yang dibutuhkan agar subtrat lumpur media tanam terperangkap, sehingga keberhasilan tumbuh Avicennia bisa terjamin”.
Gambar . Desain APO

Sumber : Rafi Merbamas



Kerusakan Mangrove di Rokan Hilir

Kabupaten Rokan Hilir memiliki luas hutan mangrove mencapai 16.276,80 Ha yang terletak di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bangko seluas 10.340,40 Ha, Kecamatan Pasir Limau Kapas seluas 3.269,40 Ha dan Kecamatan Sinaboi seluas 2.667,00 Ha. Pada umumnya hutan mangrove di Kabupaten Rokan Hilir tumbuh secara alami yang jika tidak diperhatikan akan mengalami kerusakan. Akhir-akhir ini berbagai aktivitas manusia secara terus-menerus telah menjadi ancaman bagi keberlanjutan ekosistem mangrove (Wahyuni, 2013). 

Pemanfaatan mangrove sering kali tidak diperhatikan kelestariannya oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh tingginya lajunya pertumbuhan penduduk yang membutuhkan sumberdaya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Banyaknya penggunaan mangrove tanpa memperhatikan ekosistemnya bisa mengakibatkan kepunahan, terjadinya penurunan pada luas kawasan mangrove karena kurangnya nilai yang diberikan pada area ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rokan Hilir telah terjadi penurunan luasan mangrove karena dimanfaatkan sebagai area tambak sehingga menurunkan produksi serasah mangrove sebagai fungsi ekologi yang dapat menjadi daya dukung perikanan tangkap pesisir. Namun pemanfaatan kawasan pesisir sebagai area tambak memberikan manfaat ekonomi bagi perikanan budidaya. 

Fungsi tersebut tidak terlepas dari ancaman kerusakan. Saat ini mangrove di Rokan Hilir telah banyak dimanfaatkan masyarakat lokal secara berlebihan sehingga memicu kerusakan pada ekosistem. Adapun bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan masyarakat di sekitar daerah diantaranya: penebangan hutan mangrove untuk memperluas pemukiman, penangkapan ikan, pembuangan sampah dan produksi kayu mangrove. 

Lahan Gambut Kabupaten Bengkalis

Luas lahan gambut di Kabupaten Bengkalis diperkirakan sebesar 800.017,67 ha (69,68% dari total luas dataran kabupaten), yang dapat dibedakan berdasarkan penyebarannya pada setiap kecamatan, yaitu Bukit Batu 120.181,38 ha; Merbau 110.920,17 ha; Pinggir 99.778,20 ha; Siak Kecil 86.455,81 ha; Tebing Tinggi 74.573,37 ha; Rupat 66.260,52 ha; Rangsang 52.489,08 ha; Bengkalis 41.584,23 ha; Mandau 40.355,58 ha; Tebing Tinggi Barat 39.954,09 ha; Bantan 33.030,86 ha; Rangsang Barat 20.520,63 ha; dan Rupat Utara 13.913,75 ha. Penggunaan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis antara lain untuk hutan lindung, hutan suaka alam, hutan produksi, perkebunan, pertanian (Nasrul, 2010).

Bahaya kebakaran lahan gambut merupakan salah satu bencana yang menjadi perhatian semua pihak secara nasional karena memiliki dampak kerugian bagi masyarakat nasional dan regional. Data 5 tahun terakhir 2014-2018 menunjukkan bahwa setiap tahun terjadi kebakaran gambut. Puncaknya tahun 2015 seluas 2.611.411,44 ha dan tahun 2018 seluas 510.564,21 ha (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, 2019) 

Kebakaran lahan gambut terjadi karena adanya 3 elemen penting yang mendukung terjadinya kebakaran yaitu bahan bakar berupa material organik gambut, oksigen, dan api pemicu terjadinya kebakaran (complete combustion) yaitu bahan bakar, oksigen dan energi panas yang disebut dengan segitiga api. Menurut teori segi tiga api (fire triangel) kebakaran terjadi karena adanya 3 faktor yang menjadi unsur api yaitu bahan bakar (fuel), sumber panas (heat) dan oksigen (Soehatman, 2010). 

Tingkat ketersediaan bahan bakar di lahan gambut yang mudah terbakar dipengaruhi oleh kondisi kelembaban tanah gambut. Kelembaban tanah gambut dipengaruhi oleh tinggi muka air gambut. Simatupang et al. (2018) menyampaikan bahwa secara teori Tinggi Muka Air (TMA) akan mempengaruhi kadar air, semakin jauh tinggi air dari permukaan gambut cenderung meningkatkan kadar air seperti pada TMA 30 cm dan 80 cm, namun tidak terjadi pada kedalaman 50 cm, hal ini dapat saja dipengaruhi karena kondisi lokasi gambut yang cenderung bervariasi

Kawasan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis memiliki tingkat bahaya kebakaran cukup tinggi terlihat dari adanya kebakaran lahan gambut setiap musim kemarau. Pada awal tahun 2019, berdasarkan laporan harian siaga darurat bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan Provinsi Riau, dari total 2.700 hektare lahan terbakar, mayoritas terjadi di Kabupaten Bengkalis yaitu tercatat luas lahan terbakar mencapai 1.263,83 hektare. Hampir setiap kecamatan di Kabupaten Bengkalis dilanda kebakaran sepanjang awal 2019 ini. Namun, kebakaran terparah tercatat di Pulau Rupat, Bengkalis (Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Riau, 2019)

Prinsip dan Kriteria ISPO (Permentan 11 Tahun 2015)

PRINSIP DAN KRITERIA KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK PERUSAHAAN PERKEBUNAN YANG MELAKUKAN USAHA BUDIDAYA PERKEBUNAN TERINTEGRASI DENGAN USAHA PENGOLAHAN DAN ENERGI TERBARUKAN

1. Legalitas Usaha Perkebunan
1.1. Izin Lokasi
1.2. Perusahaan Perkebunan memiliki izin usaha perkebunan (IUP, SPUP, ITUBP, ITUIP, izin prinspi menteri pertanian, izin Kepala BPKM a.n Menteri Pertanian)
1.3. Perolehan Lahan usaha perkebunan (APL, HPK, Tanah Adat)
1.4. Hak Atas Tanah (HGU) - 35 Tahun
1.5 Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (IUPB atau IUP luas 250 ha atau lebih wajib membangun kebun masyarakat minimal 20%, tidak berlaku pekebun pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR-KKPA, kerjasama inti atau plasma
1.6. Lokasi Perkebunan (lahan telah sesuai dengan RTRW)
1.7. Tanah Terlantar (apabila tanah terlantar kurang dari 25% maka pemegang hak dapat mengajukan permohonan revisi)
1.8. Sengketa Lahan (perusahaan wajib menyelesaikan sengketa)
1.9. Bentuk Badan hukum ( PT atau Koperasi)

2. Manajemen Perkebunan
2.1. Perencanaan Perkebunan ( rencana jangka Pendek, menengah dan panjang utk sawit berkelanjutan) - replanting, proyeksi produksi, proyeksi rendemen, perkiraan harga dan indikator keuangan
2.2. Penerapan teknis budidaya dan pengolahan hasl
2.2.1. Penerapan pedoman teknis budidaya
2.2.1.1. pembukaan lahan (memenuih kaidah konservasi tanah dan air) - perkebunan sawit di larang membuka : 500 m tepi waduk/danau, 200 m tepi seungai daerah rawa, 100 m tepi sungai, 50 m anak sungai, 2 kali kedalaman jurang, 130 kali selisih pasang tertinggi dan terendah tepi pantai
2.2.1.2. Perbenihan ( harus menggunakan benih unggul)
2.2.1.3. Penanaman pada lahan mineral (sesuai baku teknis) - SOP pedoman teknis penanaman lahan mineral, jumlah tanam dan tanaman dan tanaman penutup tanah
2.2.1.4. Penanaman pada lahan gambut ( memperhatikan karakteristik lahan gambut tidak merusak fungsi lingkungan) - penanaman di lahan gambut di bawah 3 meter, water level 60-80 cm, jarak tanam, tanaman penutup dan piezometer
2.2.1.5 Pemeliharaan tanaman (SOP Good Agricuture Practised (GAP) kelapa sawit)
2.2.1.6. Pengendalian OPT
2.2.1.7. Pemanenan ( tepat waktu dan mencatat produksi TBS)

2.2.2. Penerapan Pedoman Teknis Pengolahan Hasil Perkebunan (pengangkutan TBS)
2.2.2.1. TBS harus segera di angkut utk menjaga kualitas
2.2.2.2. Penerimaan TBS di unit pengolahan kelapa sawit (sesuai prasyarat yang di tetapkan) 
2.2.2.3. Pengolahan TBS (TBS menerapkan praktek pengolahan yang baik GMP)
2.2.2.4. Pengelolaan Limbah (sesuai dengan peraturan perundang-undangan) - Laporan setiap 3 bulan air limbah, laporan per 6 bulan udara emisi
2.2.2.5. Pemanfaatan Limbah (pemanfaatan limbah untuk efisiensi dan pengurangan dampak) - izin pemanfaatan limbah utk Land Application

2.3. Tumpang tindih dengan usaha pertambangan (kesepakatan trhadap penyelesaian tumpang tindih sesuai peraturan perundan-undangan)

2.4. Rencana dan Realisasi Pembangunan kebun dan Unit Pengolahan kelapa Sawit (Dokumen rencana dan realisasi pemanfaatan HGU)

2.5. Penyediaan Data dan Informasi kepada instansi terkait serta pemangku kepentingan lain selain informasi yang dikecualikan sesuai peraturan perundang-undangan

3. Perlindungan terhadap pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut

4. Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
4.1. Kewajiban perusahaan perkebunan yang terintegrasi dengan unit pengolahan kelapa sawit
4.2. Kewajiban terkait izin lingkungan (AMDAL/UKL-UPL)
4.3. Pengeloaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
4.4. Gangguan dari sumber yang tidak bergerak
4.5. Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran
4.6. Pelestarian Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)
4.7. Konservasi terhadap sumber dan kualitas air
4.8. Kawasan lindung (peta lokasi kawasan lindung di dalam dan disekitar kebun, dokumen identifikasi, sosialisasi dan keamanan kawasan lindung)
4.9. Konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi
4.10. Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

5. Tanggung Jawab terhadap Pekerja
5.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
5.2. Kesejahteraan dan Peningkatan Kemampuan Pekerja
5.3. Penggunaan Pekerja Anak dan Diskriminasi Pekerja (Suku, Ras, Gender dan Agama) - dilarang mempekerjakan anak di bawah umur dan melakukan diskriminasi
5.4. Fasilitasi pembentukan serikat pekerja 
5.5. Perusahaan perkebunan mendorong dan memfasilitasi pembentukan koperasi pekerja dan karyawan

6. Tanggung Jawab Sosial dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
6.1. Perusahaan Perkebunan harus memiliki komitmen sosial, kemasyarakatan dan pengembangan potensi kearifan lokal
6.2. Pemberdayaan masyarakat adat/penduduk asli
6.3. Pengembangan usaha lokal (peluang pembelian/ pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat di sekitar kebun)

7. Peningkatan Usaha secara berkelanjutan

Perusahaan Perkebunan dan unit pengolahan hasil berkewajiban meningkatkan kinerja (teknis, ekonomis, sosial, dan lingkungan) secara berkelanjutan dengan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung peningkatan produksi berkelanjutan

ADAT ISTIADAT DI KEPENGHULUAN RANTAU BAIS

ADAT ISTIADAT DI KEPENGHULUAN RANTAU BAIS

Sehubungan dengan masyarakat Rantau Bais sebagian besar terdiri dari keturunan masyarakat
melayu Tambusai,adat istiadat yang turun temurun ini sangat banyak mempengaruhi pola kehidupan
masyarakat walaupun hal itu untuk sekarang ini tidak layak lagi dikerjakan,namun demikian untuk
kebudayaan yang sifatnya positif dan sesuai dengan pola kehidupan berbangsa dan bernegara tetap
dilestarikan dan dibina.
Masyarakat melayu tambusai terdiri 9 ( Sembilan) suku ditambah 2 (dua) suku anak-anak raja
yang masing-masing suku dikepalai oleh seorang pucuk suku (Kepala Suku) dibantu oleh tunkek
(Wakil) dan beberapa orang induk,kemudian tiap-tiap induk dibantu pula oleh beberapa orang mata
bawah perut,sedangkan anggota pengurus suku disebut Ninik Mamak dan anggota suku disebut Anak
kemenakan.
Sedangkan suku-suku yang merupakan keturunan melayu tambusai yang ada di Kepenghuluan
Rantau Bais hanya terdapat 7 (Tujuh) Suku yang tiap-tiap suku dikepalai oleh seorang Kepala Suku
antara lain :

1. Suku Melayu
2. Suku Ampu Sialok
3. Suku Kandang Kopuh
4. Suku Kuti Setia Maharaja
5. Suku Ampu Setia Pahlawan
6. Suku Malenggang
7. Suku Ampu Karang
Dalam kehidupan bermasyarakat di Kepenghuluan Rantau Bais,hal-hal yang di adatkan adalah
sebagai berikut :

1. Kegiatan Pernikahan/Perkawinan
2. Kegiatan Sunat Rasul
3. Ketan tindik (Memasang Anting-anting)
4. Timbun tanah atau acara pembangunan Kuburan.

Dalam pelaksanaan Adat Istiadat di Kepenghuluan Rantau Bais,peranan Ninik mamak sangat besar
sekali dalam hal menjaga kerukunan,keserasian,penyelesaian pertikaian antara anak kemenakan baik
dalam satu suku maupun dalam situasi antar suku.
Untuk masyarakat yang tidak bergabung dalam keanggotaan suku (Anak Kemenakan) dari
suku-suku yang ada di Kepenghuluan Rantau Bais,apabila mereka bersedia diatur dapat menjadi
anggota suku,biasanya bagi penduduk pendatang yaitu dengan cara melarutkan diri pada salah satu
suku dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh adat istiadat Kepenghuluan Rantau
Bais,pepatah adat mengatakan “ Dekat Mencari Kaum Famili, Jauh Menacari Suku”.-

Keadaan Umum Petani Padi di Desa Raja Bejamu

Keadaan Umum Petani Padi di Desa Raja Bejamu

Desa Raja Bejamu merupakan desa yang sangat berpotensi untuk dilakukan penanaman tanaman padi dengan skala besar, karena Desa Raja Bejamu ini merupakan satu dari beberapa desa yang memiliki topografi yang sesuai untuk pembudidayaan tanaman padi, baik dari kondisi tanah dan iklim yang ada di diuntungkan dalam penjualan gabah basah karena lebih efisien baik dari segi waktu maupun biaya, harga jual gabah basah yaitu Rp 3.750/Kg, sedangkan harga jual untuk gabah kering yaitu Rp 4.500/Kg. Luas Tanam Sebanyak 625 Ha produksi 9.984 Ton

Petani di Desa Raja Bejamu merupakan penduduk campuran dari berbagai suku yang mana asli penduduk lokal dan pendatang, tanah yang diolah merupakan hasil dari pembukaan lahan yang dulunya hutan yang memang dibiarkan oleh pemerintah dan sampai sekarang masih ada masyarakat pendatang dari luar Kecamatan Sinaboi yang datang untuk membuka lahan untuk diolah menjadi pertanian. Berkembangannya usaha perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau maka ikut juga masyarakat Desa Raja Bejamu mengalih fungsikan lahan pertanian menjadi tanaman kelapa sawit karena didorong oleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan dari sektor pertanian. Sehingga banyak petani yang lebih tertarik membudidayakan tanaman kelapa sawit dibandingkan dengan tanaman padi serta masyarakat Desa Raja Bejamu juga mengalih fungsikan lahan pertaniannya menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejauh ini memang sudah ada peran pemerintah untuk tidak mengalih fungsikan lahan pertanian menjadi perkebunan tetapi cuma sebatas bicara tidak ada tindakan yang membuat para petani takut dan mengasih arahan serta anjuran saja. Tetapi masih ada sebagian lahan masyarakat Desa Raja Bejamu yang tidak dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan hal ini karena sadar akan mahalnya harga kebutuhan sembako seperti beras.

Pertanian di Desa Raja Bejamu masih alami dan mengolah lahan pertaniannya satu tahun sekali dan masih menggunakan bibit yang 6 bulan panen, Pada tahun 2012 produksi padi Desa Raja Bejamu meningkat yaitu 9.984,6 ton, luas panen 2.322/ha sedangkan luas panen 625/ha dibandingkan dengan lain yang ada di Kecamatan Raja Bejamu. Adapun untuk penanaman benih dimulai pada bulan desember hal ini dikarenakan pada bulan desember biasanya masyarakat percaya adanya musim penghujan karena pertanian di Desa Raja Bejamu tidak adanya sistem irigasi sehingga petani memulai penanaman dibulan desember.

Bibit yang digunakan oleh para petani umumnya yaitu Padi Sikuning atau lebih dikenal luas oleh masyarakat yaitu Kuku Balam. Petani padi di Desa Raja Bejamu ini memegang peran penting sebagai pendapatan untuk menopang hidup keluarga walaupun pada kenyataannya produktivitas tanaman padi yang diusahakan petani masih rendah karena hanya dibudidayakan satu tahun sekali. Secara teknis rendahnya produksi pembudidayaaan padi disebabkan kurangnya pengetahuan petani, seperti pengolahan lahan, pemilihan bibit, pemupukan dan pemeliharaan. Sebagian besar petani memiliki pengalaman berusahatani yang cukup baik, tetapi masih kurang dan perlu adanya peran dari pemerintah untuk membimbing para petani untuk berusahatani yang baik dengan sedikit mengeluarkan modal dan menghasilkan keuntungan yang besar.

Saluran Pemasaran Pertanian Padi

Pemasaran hasil pertanian petani padi memasarkannya ke Medan seperti Tebing Tinggi dan Pematang Siantar. Adapun kendala-kendala yang sering dihadapi para petani padi diantaranya adalah sulitnya mendapatkan pupuk seperti pupuk urea dan serangan hama penyakit seperti wereng, penggulung daun, orong-orong, keong mas dan burung. Pengelolaan usahatani padi ditangani langsung oleh PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) yaitu sumber bagi petani untuk mendapatkan informasi tentang permasalahan yang ada. Maju dan berkembangnya petani di Raja Bejamu ini tergantung pada motivasi yang diberikan oleh para penyuluh lapangan. Petani di Desa Raja Bejamu ini berjumlah 400 petani yang mana setiap kelompok tani ada 25 anggota kelompok yang berjumlah 16 kelompok. Pada setiap anggota kelompok tani di awasi dan dibimbing langsung oleh petugas penyuluh lapangan (Petugas penyuluh lapangan Raja Bejamu,2012).

 

Saluran pemasaran padi di Desa Raja Bejamu terdiri dari 40 petani yang menjual kepada 5 pedagang pengumpul yang berada di berbeda Kecamatan seperti Kecamatan Sinaboi, Bangko serta Rimba Melintang dan 1 pedagang besar yang berada di Kota Medan Sumatera Utara. Jumlah petani yang menjual kepada masing-masing pedagang pengumpul berbeda satu sama lain. Dalam saluran pemasaran ini, petani mengeluarkan biaya konsumsi mereka mengeluarkan Rp. 883,8 untuk biaya pekerja.

Salah satu alasan petani mengeluarkan konsumsi yaitu karena petani merasa kasihan dengan pekerja panen selain itu sudah jadi kewajiban untuk memberikan konsumsi. Biaya upah panen biasanya berfluktuasi mengikuti perputaran harga pasaran gabah di Raja Bejamu yang diambil pedagang pengumpul. Adapun harga jual petani kepada pedagang pengumpul yaitu Rp 3.750/kg, sedangkan pedagang pengumpul menjual kepedagang besar adalah sebesar Rp 4.800/kg.

Sistem pembayaran pada pemasaran gabah melalui dua cara yaitu pembayaran tunai ataupun peminjaman modal diawal penanaman. Dalam pembayaran tunai yaitu dilakukan pada saat selesai penimbangan maka akan langsung pembayaran tunai tanpa adanya hutang/bon. Sedangkan dalam hal ini yang dimaksud dengan pembayaran diawal penanaman adalah disaat petani kekurangan modal untuk biaya berusaha tani tetapi tidak semua petani meminjam modal kepedagang pengumpul hanya sebagian kecil aja bagi petani yang kurang mampu.

Pedagang pengumpul hanya menjual gabah ke satu pedagang besar saja di Kota Medan, ini disebabkan karena sudah adanya langganan atau terikat perjanjian harga yang disepekati oleh pedagang. Selain itu mereka juga sudah cukup lama menjalin hubungan kerja sama sehingga mereka sudah saling percaya satu sama lainnya antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar. 

Profil Desa Raja Bejamu

Profil Desa Raja Bejamu

Desa Raja Bejamu

Desa Raja Bejamu merupakan Desa yang terletak di Kacamatan Sinaboi Kabupaten Rokan Hilir. Secara geografis Desa Raja Bejamu berada pada posisi 1 0 14’00”LU-2 0 45’00”LU dan 1000 17’00”BT-1010 21’00”BT. Desa Raja Bejamu memiliki luas wilayah 9200 km2 yang terdiri dari 4 Rukun Warga (RW) dan 17 Rukun Tetangga (RT). Desa Raja Bejamu memiliki batas-batas dengan wilayah lainnya, yaitu : sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Bukit Kapur, sebelah barat berbatasan dengan Desa Sei- Nyamuk, sebelah timur berbatasan dengan Desa Sei- Bakau.

Secara administratif Desa Raja Bejamu termasuk dalam wilayah Kecamatan Sinaboi Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Jarak Desa Raja Bejamu dari Ibu Kota Kecamatan sejauh 15 Km, jarak ke Ibu Kota Kabupaten (Rokan Hilir) 27 Km, jarak ini dapat ditempuh dengan transportasi darat. Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Desa Raja Bejamu keadaan iklim di penghuluan tersebut tidak jauh berbeda di Desa lainnya di Kabupaten Rokan Hilir yaitu beriklim tropis dengan curah hujan 1.808,5 mm/tahun dan temperatur udaranya berkisar pada 24oC-32oC.

Penduduk Desa Raja Bejamu Jumlah dan Tingkat Pendidikan

Penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan, dimana jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.497 (50,69 %) dan perempuan 2.429 jiwa (49,30 %) sehingga di dapat Sex Rasio adalah 102,8 %, artinya setiap 100 penduduk wanita berbanding dengan 103 penduduk laki-laki. sebagian besar tingkat pendidikan masyarakat Desa Raja Bejamu banyak yang Tidak Sekolah yaitu sebanyak 4560 orang (92,57 %), ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemiskinan masyarakat nelayan di Desa Raja Bejamu.

Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Desa Bejamu terdiri dari bidang perikanan, pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Untuk mengetahui jumlah penduduk di Desa Bejamu dapat dilihat pada Tabel 3.


Gambaran Masyarakat Nelayan Di Desa Raja Bejamu

Kondisi fisik perairan laut Desa Raja Bejamu berwarna jernih dan keruh. Fungsi utama dari perairan laut yang ada di Desa Raja Bejamu ini adalah di pergunakan untuk menangkap ikan oleh para nelayan yang ada di Desa Raja Bejamu. Masyarakat nelayan di Desa Raja Bejamu terdapat dua macam yaitu nelayan pribadi dan nelayan buruh. Nelayan pribadi yaitu nelayan yang mempunyai kapal dan alat tangkap sendiri untuk menangkap ikan sedangkan nelayan buruh yaitu nelayan yang bekerja dengan orang

Sarana dan Prasarana di Desa Raja Bejamu

Sarana dan prasarana di Desa Raja Bejamu terdapat mesjid 5 buah, gereja 4 buah dan kelenteng 1 buah. Di Desa Raja Bejamu juga terdapat gedung permanen 30 buah, rumah panggung 270 buah, semi permanen 40 buah dan rumah papan 470 buah. Berdasarkan agama dan lingkungan di Desa Raja Bejamu yang mendominasi tempat ibadah yaitu mesjid dan tempat tinggal nelayan yang mendominan yaitu rumah papan 470 buah karena di Desa Raja Bejamu merupakan wilayah pesisir. Kemudian di Desa Raja Bejamu terdapat 2 Taman kanak-kanan (TK), Sekolah Dasar (SD) 4 buah dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) 2 buah kemudian di Desa Raja Bejamu terdapat 14 Bangliau yang semua pemilik bangliau tersebut yaitu orang Tionghoa


Profil Kepenghuluan Mumugo

I.           Sejarah Desa

Kepenghuluan Mumugu pada awalnya merupakan perkampungan kecil dengan jumlah rumah dan kepala keluarga sebanyak 9 KK pada sekitar tahun 1983, saat itu yang ada hanya penduduk selaku penjaga kebun. Kemudian pada tahun 1993 barulah dibentuk kelompok tani dan diberi nama Kampung Mumugo, sehingga pada akhirnya penduduk semakin ramai.

Status wilayah pada tahun 1983 masuk kedalam Desa Bangsal Aceh Kecamatan Bukit Kapur Kabupaten Bengkalis, setelah itu beralih masuk wilayah Desa Lubuk Gaung, Kemudian dibentuk Rukun Warga RW 3 yang dijabat oleh M. Dahlan (Alm) membawahi 1 RT yang dijabat oleh Syahren (Alm) yang masih berada di Kecamatan Bukit Kapur Kabupaten Bengkalis. Pada tahun 1996 Ketua RW 3 meninggal dunia dan kemudian digantikan oleh Juliar, setelah terjadi pemekaran dari Kabupaten Bengkalis Menjadi Kotamdya Dumai pada tahun 1999, sehingga kampung Mumugo berubah menjadi RW 10 Kelurahan Lubuk Gaung Kecamatan Sungai Sembilan Kotamadya Dumai. Terakhir pada tahun 2004 Pemerintah Kotamadya Dumai melakukan penghapusan Rukun Warga (RW) sehingga akhirnya Kampung Mumugo menjadi RT 26 yang juga dijabat oleh Juliar selaku Ketua RT pada masa itu.

 

Pada bulan Oktober 1999 terjadi pemekaran lagi dari Kabupaten Bengkalis, dan terbentuklah beberapa Kabupaten termasuk Kabupaten Rokan Hilir, dimana menurut peta wilayah Kampung Mumugo termasuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Rokan Hilir, namun sampai tahun 2006 status kependudukan warga masyarakat Kampung Mumugo secara administrasi masih diurus oleh Pemerintah Kota Dumai.

Kemudian pada akhir tahun 2006 Bupati Rokan Hilir yang saat itu dijabat oleh Bapak H. Annas Maamun, mengundang ketua RT 26 Juliar bersama beberapa tokoh masyarakat bertujuan untuk merangkul agar Kampung Mumugo bergabung ke-Kabupaten Rokan Hilir, setelah dilakukannya musyawarah, maka didapat kata Mufakat oleh segenap masyarakat dan bersedia bergabung bersama Kabupaten Rokan Hilir.

Pada tanggal 18 Juli 2007 dilakukan peresmian Kepenghuluan Persiapan Mumugo Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir sekaligus pelantikan Juliar selaku pejabat Penghulu Mumugo dalam suatu Upacara Pelantikan bersama dengan pembentukan Kepenghuluan Persiapan Teluk Berembun Kecamatan Tanah Putih di Kepenghuluan Rantau Bais.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hilir Nomor: 16 Tahun 2009 terbentuklah secara definitif Kepenghuluan Mumugo dan pada bulan November 2010 dilaksanakan Pemilihan Penghulu Mumugo dengan calon sebanyak 3 orang dan yang terpilih mendapatkan 84,3% suara atas nama Juliar kemudian dilantik pada 19 Februari 2011. Hingga tahun 2016


Nama-nama yang telah menjabat Kepala Kepenghuluan Mumugo adalah contoh sebagai berikut:

1.    (20092013) Penghulu           : Juliar

2.    (2013 – 2017) Penghulu           : Al. Yusni

3.    (2017 – sekarang) Penghulu     : Dahlan

Profil Desa Semambu Kuning

Desa Semambu Kuning

Desa Semambu Kuning merupakan hasil pemekaran dari Desa Simpang Gaung Kecamatan
Gaung kabupaten Indragiri Hilir. Luas wilayah Desa Semambu Kuning adalah ± 22,5 Km2
(Dua Puluh Dua Koma Lima Kilometer Persegi), secara administrasi desa semambu kuning
memiliki batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Desa Simpang Gaung di Sungai Gaung

Sebelah Selatan : Desa Sungai Empat Kecamatan Gaung Anak Serka

Sebelah Timur : Desa Pungkat

Sebelah Barat : Desa Teluk Kabung

Wilayah Desa Semambu Kuning meliputi :
a. Dusun Taruntung;
b. Dusun Mulia; dan
c. Dusun Sejahtera.

Ibu Kota Desa Semambu Kuning terletak di Dusun Sejahtera.

Dengan terbentuknya Desa Semambu Kuning, maka luas wilayah Desa Simpang Gaung yang
merupakan Desa Induk, menjadi ± 90,12 Km2 (Sembilan Puluh koma Dua Belas Kilometer
Persegi). Luas dan batas wilayah Desa Semambu Kuning dan Desa Simpang Gaung
sebagaimana tergambar dalam Peta Wilayah pada Lampiran III dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

TOR Kajian Implementasi SDGs dan RAD SDGs Provinsi Riau

Kajian Implementasi SDGs dan RAD SDGs Provinsi Riau

yang Melibatkan Industri Berbasis Sumber Daya Alam

 

 

I.           Pendahuluan

 

Sejak 2015, Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan dan mewujudkan tercapainya pembangunan berkelanjutan—atau secara internasional dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDG’s). Disepakati 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia sendiri memandang bahwa tujuan dari SDG’s sejalan dengan agenda pembangunan nasional. Pemerintah gencar menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai pakem untuk pengembangan pembangunan di Indonesia. Selain dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembanguan Berkelanjutan, lebih rinci lagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.

 

Terdapat 17 tujuan dalam pembangunan berkelanjutan diantaranya: tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi layak, energy bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, industry, inovasi dan infrastruktur serta berkurangnya kesenjangan.

 

Selain itu, membuat kota dan komunitas yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, penanganan perubahan iklim, ekosistem laut, ekosistem darat, perdamauan, keadilan dan kelembagaan yang tangguh dan terakhir kemitraan untuk mencapai tujuan. Berfokus pada empat pilar pembangunan yaitu sosial, lingkungan, ekonomi serta hukum dan tata kelola, Indonesia berupaya untuk dapat memenuhi seluruh indikator demi terwujudnya tujuan pembangunan

 

Bahkan melalui Kementerian PPN/ Bappenas bersama kementerian/ lembaga, organisasi masyarakat dan media, filantropi, pelaku usaha serta pakar merumuskan rencana aksi yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah untuk merumuskan rencana aksi konkrit demi mewujudkan SDG’s.

 

Jikalahari hendak melakukan kajian terhadap realisasi dari SDG’s dan RAD SDG’s di daerah Provinsi Riau. Tingginya tingkat deforestasi di Riau pada kurun waktu 2015 – 2020 dan banyaknya persoalan lingkungan seperti banjir, kebakaran hutan dan lahan, perambahan kawasan hutan hingga perdagangan satwa yang dilindungi menjadi cerminan bagaimana realisasi SDG’s yang digaung-gaungkan masih jauh panggang dari api.

 

Jikalahari melakukan analisis terkait laju deforestasi sejak 1982 hingga 2020. Hutan alam di Riau sejak 1982 hingga saat ini telah berkurang mencapai 5.300.183 ha atau sebesar 78 persen dari luasan awal. Untuk 2020, luas hutan alam yang berkurang dari 2019 seluas 15.306 ha. Jumlah ini berkurang 50% dari luas deforestasi pada 2019.

Hilangnya tutupan hutan alam tentunya berdampak pada pencapaian tujuan dari SDGs sendiri. Dalam dokumen SDGs, dijelaskan untuk pilar lingkungan di tujuan ke 15, melindungi, merestorasi dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggundulan hutan, memulihkan degradasi lahan serta mengentikan kehilangan keanekaragaman hayati menjadi indikator utamanya.

 

Belum lagi di tujuan untuk penanganan perubahan iklim, pemerintah menyampaikan bahwa tindakan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya adalah dengan menurunkan emisi gas rumah kaca dengan melakukan mencegah deforestasi, merestorasi lahan gambut, menggunakan energy terbarukan dan transportasi ramah lingkungan, menekan limbah industry dan mewujudkan industry ramah lingkungan serta mewujudkan pertanian yang ramah lingkungan. Hal ini diatur sesuai Perpres 61 Tahun 2011.

 

Namun pertanyaannya, sudahkan tujuan-tujuan ini terealisasi? Khusus untuk Riau yang dijadikan daerah percontohan pelaksanaan SDGs, Gubenur dan Bupati/ Walikota bersama berbagai pihak telah menyusun dokumen RAD SDGs dan komitmen ini dikuatkan dengan terbitnya Peraturan Gubernur No 33 Tahun 2018 pada 5 Juni 2018 tentang RAD TPB/ SDGs tahun 2017 – 2019. RAD ini disusun oleh tim koordinasi daerah yang bekerja sama dengan UNDP dan Tanoto Foundation. Mereka mengintergrasikan pembangunan Riau dengan tujuan-tujuan SDGs.

 

Untuk itu kajian ini dilakukan, untuk melihatt bagaimana realisasi dari RAD SDG’s di Riau serta bagaimana dampak dari penerapan SDG’s terhadap upaya perbaikan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, hutan dan sumber daya alam Indonesia dan terkhususnya di Riau.

 

II.         Tujuan:

Kegiatan analisis kebijakan ini dilakukan untuk:

1.        Mengkaji dampak penerapan SDG’s terhadap upaya perbaikan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, hutan dan sumber daya alam Indonesia

2.       Mengevaluasi realisasi RAD SDG’s Provinsi Riau serta memetakan dampak SDG’s terhadap industry berbasis SDA, terutama industry HTI di Indonesia

3.       Memberikan masukan kepada pemerintah untuk perbaikan kebijakan demi perbaikan lingkungan.

 

 

III.       Tim Ahli dan Perumus

Dalam kajian ini, Jikalahari akan melibatkan tiga orang tim ahli, diantaranya:

1.        Gusliana HB, Ahli Hukum Tata Negara

Mengkaji realisasi SDG’s secara nasional serta peraturan pendukung untuk melihat implementasi SDG’s terhadap upaya perbaikan dan perlindungan lingkungan hidup, hutan dan SDA

2.       Susanto Kurniawan,

Mengkaji dan mengevaluasi implementasi RAD DSG’s Provinsi Riau

3.       Made Ali, Koordinator Jikalahari

Mengkaji persoalan-persoalan yang muncul sebelum SDG’s muncul dan dampak yang ditimbulkan dari implementasi SDG’s di Riau terutama untuk sektor lingkungan hidup dan kehutanan

 

Dalam menyusun analisis kebijakan, Ahli akan dibantu oleh Tim Perumus

1.        Okto Yugo Setyo

2.       Arpiyan Sargita

3.       Mulyadi

4.       Muhammad Ivanaldi

5.       Nurul Fitria

 

Ahli akan menuliskan paper hasil analisis yang nantinya akan dibahas bersama Tim Perumus pada FGD I yang akan dilaksanakan via Zoom. Pasca FGD, akan dihasilkan naskah final berbentuk Brief dari analisis kebijakan. Brief akan dipublikasi dan didiskusikan Bersama pembuat kebijakan saat roadshow.

 

IV.       Tahapan Kegiatan

Dalam melaksanakan kajian ini, akan ada beberapa tahapan kegiatan diantaranya:

1.        Pembentukan tim ahli

Perumus akan mendiskusikan ahli yang terlibat, menghubungi dan menjelaskan terkait kajian yang akan dilaksanakan. Jika ahli telah setuju, perumus akan memberikan ToR dan bahan-bahan kajian untuk dipelajari oleh ahli. Ahli akan membuat draft awal analisis, memetakan arah kajian serta membuat daftar bahan yang diperlukan untuk melengkapi kajian. Nantinya tim perumus akan mengumpulkan bahan sesuai yang dibutuhkan ahli.

 

2.       FGD I

Focus Group Discussion I digelar untuk mendiskusikan latar belakang kajian, menyamakan perspektif antara ahli dan perumus serta membagi topik yang akan dianalisis oleh ke 3 ahli. Dalam FGD I juga dibahas kerangka analisis sehingga memudahkan ahli dalam memetakan persoalan untuk dianalisis. Ahli bersama perumus juga akan kembali menyusun timeline kegiatan yang disesuaikan dengan waktu ahli.

NB: diharapkan dalam FGD I, ahli telah menyiapkan draft awal analisis dalam bentuk word ataupun PPT

 

3.       Penyusunan Naskah Analisis

Pasca FGD I, ahli akan menyusun naskah analisis kebijakan yang disepakati sesuai dengan keahlian. Selama penyusunan naskah berlangsung, ahli dapat berkomunikasi dengan tim perumus jika ada data pendukung yang dibutuhkan. Diharapkan naskah analisis dapat dikirimkan ke perumus paling lambat 3 hari jelang dilaksanakannya FGD II. Sehingga tim perumus dapat mengkompilasi poin-poin utama analisis tim ahli untuk dibahas bersama dalam FGD II.

 

4.       FGD II

FGD II dilaksanakan untuk mendiskusikan hasil analisis dari ahli. Dalam diskusi ini seluruh ahli dan perumus dapat memberikan masukan terhadap naskah analisis untuk melengkapi hal yang terlewat atau yang belum terbahas dalam analisis yang telah dibuat.

 

5.       Finalisasi Naskah

Pasca FGD II, seluruh masukan yang diberikan akan ditambahkan oleh tim ahli dan perumus untuk menjadi naskah kajian yang utuh. Setelah naskah selesai diperbaiki, tim perumus dan ahli menyiapkan presentasi untuk menyampaikan hasil analisis dalam Konsultasi Publik, untuk mendapatkan masukan dari masyarakat.

 

6.       FGD III & Konsultasi Publik

Diskusi antara ahli, perumus dan masyarakat serta pihak-pihak terkait dengan analisis untuk mendapatkan masukan.

 

7.       Perbaikan Masukan Hasil Konsultasi, Cetak, Publikasi dan Roadshow

Setelah konsultasi publik, seluruh masukan berkaitan untuk melengkapi hasil analisis ditambahkan dalam naskah. Hasil analisis yang telah dicetak akan dipublikasikan dan diberikan kepada pihak terkait.

Contoh Proposal Serai Wangi

Nomor             : 01/NJ/SKM/VIII/2016                                 Kepada Yth,                                   

Lampiran         : 1 jilid                                                            Yanti Komalasari

Perihal            : Permohonan Bantuan Alat Penyulingan       Anggota DPRD Riau

Perihal             : Permohonan Bantuan alat penyulingan        Provinsi Riau                                   

 

Dalam rangka mendukung suksesnya program bidang perekonomian dalam sektor pertanian, dengan pertumbuhan masyarakat yang cukup pesat maka perlu dilakukan pengembangan pertanian dalam hal ini penyulingan minyak serai wangi yang sangat dibutuhkan demi peningatan perekonomian masyarakat.

Oleh karena itu, kami kelompok tani “Harapan Jaya” Kelurahan Pelintung Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai mengajukan permohonan bantuan alat penyulingan minyak serai wangi agar kiranya mendapat prioritas.

Besar harapan kami kiranya kebijaksanaan Ibu berpihak kepada kami, mengingat sangat perlunya bantuan tersebut untuk membantu meningkatkan kualitas dan kuantitas usaha yang kami miliki sekaligus meningkatkan taraf hidup kelompok kami.

Demikian permohonan ini kami buat atas bantuan dan kebijaksanaan Bapak/Ibu kami ucapkan terimakasih.                      

       Mengetahui,                                                                                                                                                                                 Ketua                                                                                          

                Lurah Pelintung                                                                  Kelompok Tani Harapan Jaya

                                                

 

 

       ALAZNI S.T.                                                                              AFRIANTO


PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Kelurahan merupakan sebuah lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat maka kelurahan menjadi ujung tombak sebuah pembangunan, oleh sebab itu dibutuhkan suatu integralitas,sinergitas dan  kontinuitas pembangunan , yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

            Sektor-sektor yang terdapat dalam kelurahan seperti sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi produktif serta sektor sarana dan prasarana pada umumnya masih kurang dirasakan oleh masyarakat. Seperti halnya di Kelurahan kami yaitu Kelurahan Pelintung Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai Provinsi Riau

            Kelurahan Pelintung memiliki beberapa potensi yang belum tergarap dengan sepenuhnya dalam sektor pertanian dan perkebunan. Maka dari itu pemerintah daerah provinsi berkewajiban untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya dengan menggali potensi yang ada di daerah guna memberikan peningkatan nilai tambah kepada masyarakat. Salah satu upaya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dalam sektor pertanian yaitu dengan  penyulingan minyak serai wangi, guna membentuk kemandirian dan pengembangan usaha yang efisien dan produktif.

            Pembudidayaan tanaman serai wangi yang saat ini sudah masih di budidayakan di keluarahan pelintung membutuhkan pembangunan penyulingan minyak serai wangi yang merupakan alternatif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat petani. Usaha meningkatkan produksi minyak serai wangi dengan cara pengembangan tanaman dan penyulingan sangat terbuka lebar. Dikarenakan semakin banyaknya permintaan konsumen akan minyak serai wangi karena berkembangnya industri kosmetik dan parfum baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

 

Maksud dan Tujuan

a.       Meningkatkan produksi minyak serai wangi agar memenuhi persyaratan sehingga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

b.       Meningkatkan penghasilan para petani minyak serai wangi agar bisa hidup makmur.

c.       Meningkatkan pengetahuan petani mengenai proses penyulingan minyak serai wangi yang baik dan benar.

Sasaran yang ingin dicapai

            Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah :

1.   Meningkatkan pendapatan kelompok tani minyak serai wangi

2.   Membuka lapangan kerja

Profil umum kelompok

            Kelompok Tani Harapan Jaya merupakan kelompok tani yang beranggotakan 25 orang dengan susunan pengurus kelompok sebagai berikut :

            Ketua              : Afrianto

            Sekretaris        : Muhammad Ridwan

            Bendahara       : Subagio

            Masing-masing anggota patuh dan tunduk pada aturan dan kesepakatan bersama, sebagai penanggung jawab kelompok Tani Harapan  Jaya adalah Bapak Afrianto

            Faktor pendukung proses penyulingan minyak serai wangi ini adalah :

1.      Ketersediaan Lahan

Dalam budidaya tanaman serai wangi di kelurahan pelintung cukup didukung dengan adanya lahan yang kosong (belum terolah). Sehingga dapat dimanfaatkan oleh petani guna meningkatkan perekonomian para petani serai wangi.

2.      Tersedianya Tenaga Kerja

Pada umumnya para pemuda di Kelurahan Pelintung untuk memenuhi kebutuhan hidup mengandalkan merantau diluar daerah, namun jika budidaya tanaman serai wangi dan produksi minyak diterapkan dengan baik maka akan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi para pemuda di Kelurahan Pelintung.

3.      Prospek Pasar

Prospek pasar untuk tanaman serai wangi sangatlah bagus, dalam penyediaan bahan baku kosmetik dan pearfum untuk pasar lokal. Semakin berkembangnya zaman permintaan tanaman nilam dipasar lokal diperkirakan akan meningkat.

Penjualan minyak serai wangi berada di tangan pengepul berkisar Rp.250.000,/kg, seiring dengan perkembangan teknologi maka strategi pemasaran dilakukan dengan cara mengirim minyak serai wangi langsung ke tempat produksi misalnya kosmetik dan parfum.

Usaha Yang Ingin Dikembangkan

            Usaha yang ingin dikembangkan oleh kelompok tani Harapan Jaya adalah membudidayakan tanaman serai wangi serta meningkatkan produksi minyak serai wangi.

Pada saat ini kapasitas penyulingan masih skala kecil sebanyak 200 kg dan memakan biaya operasional yang tinggi dan tidak efisien, proses penyulingan masih menggunakan jasa dengan biaya Rp.500.000,/1 kali penyulingan dengan menghasilkan minyak serai wangi berkisar antara 1- 1,5 kg minyak serai wangi. Diharapkan dengan adanya bantuan alat penyulingan dari anggota DPR Provinsi Riau dapat menekan anggaran pengeluaran, sehingga dapat meningkatkan pendapatan kelompok tani Harapan Jaya


RENCANA ANGGARAN BIAYA

PEMBUATAN TEMPAT PENYULINGAN SERAI WANGI


PENUTUP

Demikian proposal permohonan bantuan alat penyulingan minyak serai wangi untuk kelompok tani Harapan Jaya Kelurahan Pelintung . Besar harapan kami agar permohonan kami dapat dipertimbangkan untuk kemudian direalisasikan agar kelompok tani Harapan Jaya dapat segera melakukan kegiatan kelompok. Dan semoga niat dan usaha baik ini mendapat kemudahan dari Tuhan Yang Maha Esa.