Gambut
didefinisikan sebagai material atau bahan organik (umumnya tumbuhan) yang tertimbun
(terakumulasi) secara alami dalam keadaan basah berlebihan (tergenang),
bersifat tidak mampat dan mengalami pelambatan pelapukan (Noor, 2001). Gambut
sering dikelompokkan sebagai tanah organik, namun tidak berarti semua tanah organik
adalah tanah gambut (Noor, 2001). Beberapa daerah di Indonesia memberikan penamaan
khas untuk tanah gambut, misalnya tanah hitam (Jawa),
sepuk (Kalimantan Barat), tanah rawang
atau tanah payo (Riau
dan Jambi) (Noor, 2001; CIFOR, 2017).
Berdasarkan
definisi legal di Indonesia, gambut diartikan sebagai material organik yang terbentuk
secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan
50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa (PP 57/2017;
Permenhut No. 16/2017). Pembentukan lapisan gambut biasanya terjadi karena laju
pelapukan (dekomposisi) nya lebih lambat dibandingkan dengan penimbunannya.
Proses pelambatan pelapukan ini disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan
fisik dan biologi seperti jenuh air, miskin unsur hara, kekurangan oksigen
(anerobik), dan keasaman tinggi (pH rendah). Pembentukan gambut di Indonesia
diperkirakan terjadi sejak masa Holosin (sekitar 5.000-10.000 tahun yang lalu) (Noor,
2001; Fahmuddin, A dan Subiksa, 2008).
Ekosistem
gambut umumnya terbentuk dan terletak diantara diantara 2 (dua) sungai dan/atau
di antara sungai dan laut dan/atau rawa. Dalam jangka panjang proses penumpukan
lapisan lapisan gambut akan memenuhi daerah rawa atau danau, yang kemudian akan
membentuk kubah-kubah gambut (peat dome).
Ekosistem gambut sejatinya merupakan proses interaksi dan relasi utuh dan
saling berkaitan antara tiga unsur pembentuk pokok yaitu tanah gambut, tumbuhan
(vegetasi), dan air (hidrologi) yang terwujud dalam Kesatuan Hidrologis Gambut.
Gambut
terdiri dari berbagai macam jenis jika dilihat dari berbagai sudut pandang diantaranya:
tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi terbentuknya.
Menurut
tingkat kematangannya, gambut dibagi menjadi:
- Gambut saprik (matang), yaitu gambut yang sudah melapuk dan bahan asalnya sudah tidak bisa dikenali. Berwarna cokelat tua hingga hitam dan bila diremas oleh tangan kandungan seratnya < 15%.
- Gambut hemik (setengah matang), yaitu gambut setengah lapuk dan sebagian bahan induknya masih bisa dikenali. Berwarna cokelat dan bila diremas bahan seratnya di kisaran 15-75%.
- Gambut fibrik (mentah), yaitu gambut yang belum melapuk dan bahan induknya bisa dikenali dengan mudah. Berwarna cokelat dan bila diremas bahan seratnya > 75%.
Menurut
tingkat kesuburannya, gambut dikelompokkan menjadi:
- Gambut eutrofik, yaitu gambut yang subur dan kaya akan bahan mineral, basa dan unsur hara lainnya. Gambut tipe ini biasanya memiliki lapisan yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
- Gambut mesotrofik, yaitu gambut agak subur dan dicirikan dengan kandungan mineral basa yang sedang.
- Gambut oligotrofik, yaitu gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan hara. Gambut jenis ini biasanya jauh dari pengaruh lumpur sungai dan laut.
Menurut
lingkungan pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
- Gambut ombrogen, yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi/bersumber dari air hujan.
- Gambut topogen, yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan air pasang sungai/laut. Dengan demikian gambut topogen lebih subur dibandingkan gambut ombrogen.
Menurut
lokasinya, gambut dibagi menjadi:
- Gambut pedalaman, yaitu gambut yang hanya dipengaruhi oleh air hujan karena jauh dari laut.
- Gambut transisi, yaitu gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut.
- Gambut pantai, yaitu gambut yang terbentuk dekat pantai dan dipengaruhi pasang surut.
Menurut
kedalamannya, gambut dibagi menjadi:
- Tanah bergambut (< 50 cm)
- Gambut dangkal (50 -100 cm)
- Gambut sedang (100 - 200 cm)
- Gambut dalam (200 - 300 cm)
- Gambut sangat dalam (> 300 cm)