Selama musim kebakaran,
kabut asap yang tebal menyelimuti beberapa kota di daerah yang rawan kebakaran
selama berbulan-bulan. Selain itu, gumpalan asap yang dihasilkan dapat menyebabkan
polusi udara lintas batas di wilayah tersebut (Heil dan Goldammer, 2001).Tahun
El Nino 1997 ketika kebakaran hutan ekstensif dilaporkan di Indonesia terlihat
puncak total dan troposfer ozon yang diamati di Watukosek, Indonesia (Fujiwara dkk,
1999), mengakibatkan polusi udara yang parah di Asia Tenggara. Setelah
peristiwa polusi udara besar tersebut, pemerintah dari sepuluh negara anggota
ASEAN (Association
of Southeast Asian Nations) menandatangani perjanjian ASEAN mengenai polusi asap lintas
batas pada 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Perjanjian Asap ASEAN adalah
regulasi regional pertama di dunia yang mengikat sekelompok negara untuk
mengatasi polusi kabut lintas batas yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan
lahan.
Gambar 1. Konsentrasi PM10 Pada Saat Kebakaran Terkait El Nino |
Limin dkk (2007) yang
dilanjutkan oleh Hayasaka dkk (2014) menganalisis berbagai data pencemaran
udara seperti karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida
(NO2), Ozon permukaan (O3), dan partikel debu (PM10) setelah tahun 2000.
Konsentrasi PM 10 dari beberapa kejadian karhutla dapat dilihat seperti pada Gambar 1. Polusi udara di Palangka
Raya, Kalimantan Tengah dipantau oleh Sistem Manajemen Kualitas Udara dan Pusat
Regional, Kota Palangka Raya.
Lokasi dari tiga stasiun
pengukur adalah Tjilik Riwut, Tilung dan Murjani. Setiap stasiun mengukur
parameter berikut ini PM10, SO2, CO, O3, dan NO2, dengan menggunakan Air Quality Monitoring
System (AQMS)
dari HORIBA, Ltd. Pusat kualitas udara memproses semua data polusi udara secara
otomatis setiap 30 menit dan menampilkan nilainya bersama dengan Indeks Standar
Pencemaran Udara (ISPU) setiap hari (waktu pembaruan pada pukul 15.00) pada
layar yang terletak di bundaran besar Palangka Raya.
Gambar 2. Konsentrasi PM10 dan Visibilitas Agustus s/d November 2015 |
Gambar 1 menunjukkan
bahwa ISPU menunjukkan level berbahaya terpanjang terjadi selama 2002 yang berlangsung
sekitar 80 hari dari pertengahan Agustus hingga akhir Oktober. Konsentrasi puncak
maksimum PM10 adalah 1 905 μg m-3, dimana lebih tinggi dari tahun kebakaran lainnya.
Sedangkan level konsentrasi gas polutan SO2 adalah tidak sehat dan CO, O3, NO2 adalah
sangat tidak sehat (Hayasaka dkk, 2014), sesuai dengan penentuan batas ISPU dari
Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor
KEP-107/Kabapedal/11/1997 pada September 2015, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menyatakan bahwa enam provinsi Indonesia telah mengumumkan
keadaan darurat karena kabut asal, yaitu Riau, Jambi, Sumatra Selatan,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Salah satu
indikatornya adalah indeks standart polusi udara (ISPU) telah mencapai tingkat
bahaya menurut Dinas Lingkungan Hidup Provinsi.
Hayasaka dan Sepriado
(2018) menunjukkan bahwa hotspot di eks PLG yang terdeteksi dari satellite NASA
adalah berkisar dari 100 titik per hari sejak pertengahan agustus 2015. Di Palangka
Raya, polusi udara yang berbahaya dengan konsentrasi PM10 lebih dari 500 ug m-3
terjadi selama 2 (dua) bulan yaitu September dan Oktober.
Gambar 3. Ketebalan Optikal Aerosol (AOD) di Kalimantan dan Sumatera tahun 2015 |
Berdasarkan data
diperoleh dari pengukuran di Stasiun Tjilik Riwut Palangka Raya, kabut asap
yang menyelimuti Palangka Raya semakin pekat pada akhir Oktober. Akibatnya,
jarak pandang kian terbatas, hanya berkisar 200 hingga 900 m pada saat musim
puncak polusi udara tersebut (Gambar 2). Gambar ketebalan aerosol dari satelit NASA Terra/MODIS
selama September sampai dengan Oktober 2015 terlihat sangat pekat pada Gambar 3. Kondisi ini
menyebabkan sebagian besar pengendara harus menghidupkan lampu kendaraan akibat
terbatasnya jarak pandang. Angka tersebut cenderung tidak terlalu aman untuk
aktivitas transportasi dan penerbangan.
Menurut Field dkk (2016)
ketebalan optikal aerosol berdasarkan data satelit di Sumatra dan Kalimantan menunjukkan
bahwa peringkat kedua 2015 setelah 1997 dan di samping 1991 dan 1994 sebagai
salah satu episode terburuk dalam catatan sejarah ASEAN. Kedua pulau diselimuti
asap tebal yang berlangsung hingga Oktober. Negara terdekat seperti Singapura
dan Malaysia, telah terpukul paling parah oleh kabut, yang telah mengirimkan indeks
polusi udara melonjak ke tingkat yang tidak sehat selama lebih dari satu bulan.
Dalam beberapa hari, angin telah meniupkan kabut ke selatan Thailand juga.
Beberapa berita melaporkan bahwa kabut asap bahkan telah mencapai Brunei,
Filipina dan Vietnam(Van Mead dkk, 2017; Dotse, 2016; Hansen dkk, 2017).
Gambar 4. Sirkuit F1, Singapura, 14 September 2015
(sumber foto: https://www.telegraph.co.uk/)
|
Gambar 5. Davao City, Filipina, 17 Oktober 2015
(sumber foto: https://newsinfo.inquirer.net/)
|
Di Singapura, salah satu
negara yang terkena dampak terburuk kabut asap (Gambar 4), pemerintah merasa harus
bertindak dalam menghadapi ketidakpuasan publik yang meluas, dan menerapkan
Perjanjian Kabut Asap Lintas batas (Trans-Boundary Haze) untuk pertama kalinya dengan berupaya memberi bantuan
kepada Indonesia. Di Pulau Cebu, Filipina, mengalami kabut ketujuh hari
berturut-turut pada awal Oktober 2015, akibat angina muson bertiup dari timur
laut dari api Indonesia menuju arah Filipina tengah bisa membawa kabut asap.
Pada pertengahan Oktober, angin muson bertiup di timur laut dari Indonesia
membawa kabut asap ke Davao dan bagian lain dari Mindanao (Gambar 5). Petugas kesehatan
setempat telah mengeluarkan buletin bagi warga untuk mengambil tindakan
pencegahan, terutama mereka yang mengalami masalah pernapasan.