Sekilas Tentang Proyek Eks PLG Kalimantan Tengah

Posted by Restorasi Gambut on

Proyek Proyek Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah, melalui Instruksi Presiden tanggal 5 Juni 1995 tentang Ketahanan Pangan dan Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah, diarahkan untuk mengkonversi hutan rawa gambut yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan dan melanjutkan swasembada beras nasional yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984, bahkan diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian yang lebih besar (Noor, 2001).

Kebijakan pengembangan PLG di Provinsi Kalimantan Tengah, penyelanggara utamanya adalah Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Transmigrasi dan Departemen Pertanian. Pemerintah Orde Baru (Orba) melakukan investasi besar dalam membangun saluran irigasi. Kawasan ini kemudian dibagi menjadi 4 (empat) blok yaitu A, B, C, dan D, dengan luasan 1.133.607 ha. Satu blok dikususkan untuk konservasi hutan rawa gambut yaitu blok E. Selama kurun waktu satu tahun telah dibuat saluran primer induk (SPI) sepanjang hampir 200 km yang menghubungkan Sungai Kahayan dan Sungai Barito dan saluran primer utama (SPU) sepanjang hampir 1,000 km yang menghubungkan blok-blok didalam PLG (Puslitanak, 1998). Selanjutnya ratusan kilometer dibangun saluran primer sampai tersier untuk keperluan irigasi dan drainase persawahan.

Kawasan PLG merupakan hamparan tanah gambut dengan kedalaman bervariasi dari dangkal sampai sangat dalam (kubah). Tanah-tanah yang dijumpai di areal Eks-PLG adalah jenis Tropohemist, Sulfihemist, Troposaprist adalah kelompok tanah gambut, Fluvaquent, Quartzipsamment (kelompok tanah alluvial atau potensial), Sulfaaquept, Sulfaquent (kelompok tanah Sulfat Masam). Tetapi sebagian sudah terjadi overdrain akibat banyaknya jaringan kanal. Penyebaran gambut tebal (>3 m) terutama di Blok C, sebagian di Blok B dan Blok A. Gambut tebal tersebut diarahkan sebagai kawasan lindung dan perlu di konservasi. Selain itu dijumpai juga tanah sulfat masam pada seluruh wilayah kerja Proyek PLG, dimana yang paling luas adalah di Blok D (Tim Kaji Ulang, 1998).

Kedalaman Sulfidik di daerah ini menurut hasil kajian Deptan (2006), bervariasi yaitu dari dangkal (0–50 cm), sedang 50–100 m, dan dalam >100 m. Tetapi sebagian besar kubah dan gambut sudah terjadi overdrain akibat banyaknya jaringan kanal. Kadar air tanah biasanya ditentukan oleh curah hujan dan tingkat evapotranspirasi – aliran air tanah relatif terbatas. Pembangunan sistem saluran secara besar-besaran dan penebangan hutan mengakibatkan terjadinya degradasi dan telah merusak mikro-topografi. Muka air tanah akan sangat bervariasi, dimana saat hujan banyak area yang tergenang tetapi saat kemarau kondisi menjadi sangat kering.

Proyek ini tidak berhasil dengan baik karena wilayah percontohan seperti daerah Lamunti dan Dadahup di Kabupaten Kapuas ternyata kurang memberikan hasil yang memuaskan. Akhirnya dicabut pada tahun 1998 dengan dikeluarkanya Kepres No. 80 Tahun 1998. Kemudian pemerintah mengeluarkan Inpres No. 2 Tahun 2007 tentang percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah. Implementasi rencana induk yang disusun mengalami kendala karena masih terbatasnya dana dan pengetahuan tentang pengelolaan gambut yang berkelanjutan.

Saat ini, penggunaan lahan gambut eksisting di eks PLG terdiri atas 6 (enam) tutupan lahan dominan, yaitu lahan rawa tanpa vegetasi besar, perkebunan dan kebun campuran. Selanjutnya tutupan lahan yang cukup luas adalah sawah, semak belukar dan lahan terbuka non rawa.

Kanal dan Daerah Rawan Kebakaran di Kawasan Eks Proyek Lahan Gambut

Kombinasi dari perusakan hutan, pembukaan lahan dan peristiwa iklim El Nino yang sangat parah pada tahun 1997 menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut yang paling parah yang pernah dikenal di wilayah ini. Polusi udara terburuk karena kabut dari api masuk sejarah Asia Tenggara, terjadi selama yang terkuat El Nino acara 1997-98, yang merupakan El Nino terkuat sebelum 2011, Kabut padat menyebabkan polusi udara ini dirilis terutama dari hutan dan kebakaran gambut di Indonesia (Heil dkk., 2006). Page dkk (2002) memperkirakan bahwa 810 – 2570 Mt karbon dipancarkan selama insiden kebakaran tinggi pada tahun 1997.

Sejak itu, daerah ini merupakan tempat yang paling rawan kebakaran dibandingkan wilayah lainnya di Kalimantan bahkan Indonesia, dengan minimal 5.000 hotspot per tahun. Di bawah kondisi sangat kering akibat peristiwa El Nino yang ditandai dengan ONI (Oceanic NiƱo Index) lebih besar dari +0.5, kejadian kebakaran terparah selama 10 tahun terakhir dengan >1.000 hotspot terjadi di lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas serta Barito Selatan (Putra dan Hayasaka 2011, Yulianti dan Hayasaka, 2013, Yulianti dkk, 2014).

Previous
« Prev Post