Pemerintah Indonesia
telah memiliki perundangan yang mengatur tentang perlindungan terhadap hutan
dan lahan sebelum terjadinya karhutla parah tahun 2015, yaitu diantaranya
dengan Undang-undang RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang Undang
Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar
(PLTB) sebagaimana dimaksud Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 Pasal 56 yang
antara lain menyatakan: Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah
lahan dengan cara membakar, dan berkewajiban memiliki sistem, sarana,
dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun. Pasal 67
UU
No. 39 Tahun 2014 tetapi tidak ada di UU No. 18 yang antara lain berbunyi,
Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup, sebelum memperoleh izin
Usaha Perkebunan, Perusahaan Perkebunan harus membuat pernyataan kesanggupan
untuk menyediakan sarana, prasarana, dan system tanggap darurat yang memadai
untuk menanggulangi terjadinya kebakaran.
Sementara itu terdapat
pula peraturan yang menjelaskan tentang membuka lahan dengan cara membakar
disebutkan sebagai kearifan lokal dalam UU No. 32 Tahun 2009 pada Penjelasan Pasal
69 Ayat (2) yang menyatakan bahwa kearifan lokal yang
dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran
lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk
ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai
pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Pasca-kebakaran terkait
El Nino yang sangat kuat pada tahun 2015, Badan Restorasi Gambut (BRG)
didirikan melalui Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016. Tugas utamanya adalah
mempercepat pemulihan dan pemulihan fungsi hidrologis gambut yang rusak akibat
kebakaran dan drainase sekitar dua juta hektar hingga 2020. Adapun target
capaian sebagaimana dimaksud
yang harus diselesaikan per tahun ditetapkan sebagai berikut: Tahun 2016
sebesar 30% (tiga puluh per seratus); Tahun 2017 sebesar 20% (dua puluh per
seratus); Tahun 2018 sebesar 20% (dua puluh per seratus); Tahun 2019 sebesar
20% (dua puluh per seratus); dan Tahun 2020 sebesar 10% (sepuluh per seratus).
Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi prioritas yang ditargetkan untuk
restorasi gambut dengan menerapkan prinsip-prinsip rewetting, revegetasi dan
revitalitation masyarakat (3R) karena dampak negatif yang cukup besar dialami
masyarakat selama bertahun-tahun.
Pada tahun yang sama
pemerintah mengeluarkan PP Nomor 57 tahun 2016 tentang perubahan PP Nomor 41 tahun
2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Peraturan ini
mencantumkan kriteria baku kerusakan ekosistem gambut dengan funsi lindung
yaitu terdapat drainase buatan, tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa
dan terjadi pengurangan luas dan/atau volume tutupan lahan. Sedangkan, kriteria
baku kerusakan gambut pada kawasan budidaya diamati berdasarkan muka air tanah
lebih dari 0,4 (nol koma empat) meter di bawah permukaan gambut pada titik
penaatan.
Penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut yang menyebabkan
kerusakan ekosistem gambut di dalam atau di luar areal usaha dan/atau kegiatan
wajib melakukan pemulihan dengan cara suksesi alami, rehabilitasi, restorasi,
dan/ atau cara lainnya yang sesuai dengan perkembangan ipteks.
Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 tahun 2016 tentang pengendalian
kebakaran hutan dan lahan diterbitkan sebagai pedoman dalam penanganan karhutla
di Indonesia. Menurut Permen ini pada paragraph 2 mulai pasal 51 disebutkan
bahwa setiap pelaku usaha di wilayah hutan seperti IUPHHK-HA dan IUPHHK-HTI menyiapkan
sarpras untuk menunjang kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu, dalam hal
terjadi krisis karhutla di wilayah kabupaten, kota dan provinsi, aktifitas
koordinasi wajib diintensifkan frekuensinya melalui Posko Krisis Kebakaran
Hutan dan Lahan setempat. Kepolisian Republik Indonesia juga mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pengendalian karhutla yang menyatakan bahwa
tindak pidana yang terkait karhutla mencakup tidakan seperti membuka dan/atau mengolah
lahan dengan cara membakar, membuka hutan, membakar lahan, kelalaian yang
mengakibatkan karhutla dan terlampauinya baku mutu udara ambien. Pelaku
pembakaran baik perorangan maupun korporasi dapat dikenakan pidana penjara dan
denda sesuai peraturan yang berlaku.