Peatland in Southeast Asia

Peatland in Southeast Asia

Tropical peatlands are found in Southeast Asia, the Caribbean, Central America, South America and Central Africa. The most recent estimated tropical peatlands area by Page et al. (2011) is 44.1 million hectares equivalent to 11% of the global peatland area. 56% of these peatlands are found in Southeast Asia.

Distribution of lowland peatlands in Southeast Asia (Data modified from Page et al., 2011).

In Southeast Asia, peatlands occupy mostly low altitude coastal and sub-coastal environments and are usually located at altitudes from sea level to 50m above sea level (Rieley et al., 2008). The total peatland area in Southeast Asia is approximately 24.7 million hectares in which 20.7 million hectares are in Indonesia (Page et al., 2011).

Peat is defined as a soil type containing at least 65% organic matter. It is comprised of partially decayed organic matter such as stems and roots. The decomposition of organic matter slows down in the presence of water and absence of oxygen, and peat is formed when the rate of accumulation exceeds the rate of decomposition. Over thousands of years, this layer of peat can reach a depth of 20m.

Area of peatlands in Southeast Asia by country (Modified from Joosten, 2009; National Environmental Agency Singapore, 2011; Page et al., 2011; Quoi, 2012).

Peat Swamp Forest (PSF) is a natural vegetation in lowland tropical peatlands in Southeast Asia. Most of the fauna and flora found in peat swamp forests are unique and highly adapted to the environment (i.e. acidic water and waterlogged condition).

Peat swamp forests have many ecological functions such as:

1. A source of freshwater supply.
2. Flood mitigation.
3. Carbon sink and store.
4. Safeguarding biodiversity.

Peraturan PerUndang-Undangan Terkait Restorasi Gambut

Peraturan Desa yang akan dibuat untuk melindungi dan mengelola gambut harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di tingkat nasional, berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Restorasi Gambut:

  1. Undang-UndangNomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria, UUPA)
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
  3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;
  4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
  5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
  7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
  8. Undang-UndangNomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan;
  9. PeraturanPemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan danHak Pakai Atas Tanah;
  10. PeraturanPemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan;
  11. PeraturanPemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PeraturanPemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan EkosistemGambut.
  12. Peraturan Pemerintah 13 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Penataan Ruang Wilayah Nasional.
  13. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Audit Lingkungan;
  14. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Tata Cara Inventarisasi Dan Penetapan Ekosistem Gambut;
  15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Dititik Penataan Ekosistem Gambut;
  16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut;
  17. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/2015 Tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri

Polusi Udara Akibat Kebakaran dan Kabut Asap

Polusi Udara Akibat Kebakaran dan Kabut Asap

Selama musim kebakaran, kabut asap yang tebal menyelimuti beberapa kota di daerah yang rawan kebakaran selama berbulan-bulan. Selain itu, gumpalan asap yang dihasilkan dapat menyebabkan polusi udara lintas batas di wilayah tersebut (Heil dan Goldammer, 2001).Tahun El Nino 1997 ketika kebakaran hutan ekstensif dilaporkan di Indonesia terlihat puncak total dan troposfer ozon yang diamati di Watukosek, Indonesia (Fujiwara dkk, 1999), mengakibatkan polusi udara yang parah di Asia Tenggara. Setelah peristiwa polusi udara besar tersebut, pemerintah dari sepuluh negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) menandatangani perjanjian ASEAN mengenai polusi asap lintas batas pada 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Perjanjian Asap ASEAN adalah regulasi regional pertama di dunia yang mengikat sekelompok negara untuk mengatasi polusi kabut lintas batas yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan.

Gambar 1. Konsentrasi PM10 Pada Saat Kebakaran Terkait El Nino
  
Limin dkk (2007) yang dilanjutkan oleh Hayasaka dkk (2014) menganalisis berbagai data pencemaran udara seperti karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), Ozon permukaan (O3), dan partikel debu (PM10) setelah tahun 2000. Konsentrasi PM 10 dari beberapa kejadian karhutla dapat dilihat seperti pada Gambar 1Polusi udara di Palangka Raya, Kalimantan Tengah dipantau oleh Sistem Manajemen Kualitas Udara dan Pusat Regional, Kota Palangka Raya.

Lokasi dari tiga stasiun pengukur adalah Tjilik Riwut, Tilung dan Murjani. Setiap stasiun mengukur parameter berikut ini PM10, SO2, CO, O3, dan NO2, dengan menggunakan Air Quality Monitoring System (AQMS) dari HORIBA, Ltd. Pusat kualitas udara memproses semua data polusi udara secara otomatis setiap 30 menit dan menampilkan nilainya bersama dengan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) setiap hari (waktu pembaruan pada pukul 15.00) pada layar yang terletak di bundaran besar Palangka Raya.
  
Gambar 2. Konsentrasi PM10 dan Visibilitas Agustus s/d November 2015

Gambar 1 menunjukkan bahwa ISPU menunjukkan level berbahaya terpanjang terjadi selama 2002 yang berlangsung sekitar 80 hari dari pertengahan Agustus hingga akhir Oktober. Konsentrasi puncak maksimum PM10 adalah 1 905 μg m-3, dimana lebih tinggi dari tahun kebakaran lainnya. Sedangkan level konsentrasi gas polutan SO2 adalah tidak sehat dan CO, O3, NO2 adalah sangat tidak sehat (Hayasaka dkk, 2014), sesuai dengan penentuan batas ISPU dari Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor KEP-107/Kabapedal/11/1997 pada September 2015, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa enam provinsi Indonesia telah mengumumkan keadaan darurat karena kabut asal, yaitu Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Salah satu indikatornya adalah indeks standart polusi udara (ISPU) telah mencapai tingkat bahaya menurut Dinas Lingkungan Hidup Provinsi.

Hayasaka dan Sepriado (2018) menunjukkan bahwa hotspot di eks PLG yang terdeteksi dari satellite NASA adalah berkisar dari 100 titik per hari sejak pertengahan agustus 2015. Di Palangka Raya, polusi udara yang berbahaya dengan konsentrasi PM10 lebih dari 500 ug m-3 terjadi selama 2 (dua) bulan yaitu September dan Oktober.

Gambar 3. Ketebalan Optikal Aerosol (AOD) di Kalimantan dan Sumatera tahun 2015
Berdasarkan data diperoleh dari pengukuran di Stasiun Tjilik Riwut Palangka Raya, kabut asap yang menyelimuti Palangka Raya semakin pekat pada akhir Oktober. Akibatnya, jarak pandang kian terbatas, hanya berkisar 200 hingga 900 m pada saat musim puncak polusi udara tersebut (Gambar 2). Gambar ketebalan aerosol dari satelit NASA Terra/MODIS selama September sampai dengan Oktober 2015 terlihat sangat pekat pada Gambar 3. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar pengendara harus menghidupkan lampu kendaraan akibat terbatasnya jarak pandang. Angka tersebut cenderung tidak terlalu aman untuk aktivitas transportasi dan penerbangan.

Menurut Field dkk (2016) ketebalan optikal aerosol berdasarkan data satelit di Sumatra dan Kalimantan menunjukkan bahwa peringkat kedua 2015 setelah 1997 dan di samping 1991 dan 1994 sebagai salah satu episode terburuk dalam catatan sejarah ASEAN. Kedua pulau diselimuti asap tebal yang berlangsung hingga Oktober. Negara terdekat seperti Singapura dan Malaysia, telah terpukul paling parah oleh kabut, yang telah mengirimkan indeks polusi udara melonjak ke tingkat yang tidak sehat selama lebih dari satu bulan. Dalam beberapa hari, angin telah meniupkan kabut ke selatan Thailand juga. Beberapa berita melaporkan bahwa kabut asap bahkan telah mencapai Brunei, Filipina dan Vietnam(Van Mead dkk, 2017; Dotse, 2016; Hansen dkk, 2017).

Gambar 4. Sirkuit F1, Singapura, 14 September 2015
 
Gambar 5.  Davao City, Filipina, 17 Oktober 2015

Di Singapura, salah satu negara yang terkena dampak terburuk kabut asap (Gambar 4), pemerintah merasa harus bertindak dalam menghadapi ketidakpuasan publik yang meluas, dan menerapkan Perjanjian Kabut Asap Lintas batas (Trans-Boundary Haze) untuk pertama kalinya dengan berupaya memberi bantuan kepada Indonesia. Di Pulau Cebu, Filipina, mengalami kabut ketujuh hari berturut-turut pada awal Oktober 2015, akibat angina muson bertiup dari timur laut dari api Indonesia menuju arah Filipina tengah bisa membawa kabut asap. Pada pertengahan Oktober, angin muson bertiup di timur laut dari Indonesia membawa kabut asap ke Davao dan bagian lain dari Mindanao (Gambar 5). Petugas kesehatan setempat telah mengeluarkan buletin bagi warga untuk mengambil tindakan pencegahan, terutama mereka yang mengalami masalah pernapasan.

Tipikal Kebakaran Lahan Gambut

Tipikal Kebakaran Lahan Gambut

Kebakaran gambut terjadi di lapisan gambut (tanah organik), akar, daun kering dan bahan organik lainnya. Jenis ini api membara (api tidak lengkap), yang dapat aktif selama berhari-hari dengan tingkat penyebarannya flameless dan rendah. Kedalaman membara sekitar puluhan sentimeter tetapi sulit untuk dikenali dengan mata telanjang. Di Kalimantan Tengah, kebakaran gambut adalah salah satu isu lingkungan yang besar terkait dengan emisi karbon dan degradasi lahan gambut. Kebakaran lahan gambut biasanya menghasilkan asap beracun dan mereka melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca (CO2, SO4 dan N2O). Hooijer dkk (2006) memperkirakan bahwa emisi CO2 dari sumber ini di Indonesia adalah kemungkinan ratarata maksimum 4,32 Gt/y.

Tulisan ini adalah untuk menjelaskan kondisi kebakaran gambut khususnya suhu membara oleh pengamatan digital dari kebakaran yang sebenarnya dekat Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, di mana meliputi sebagian dari area eks PLG. Sebagian besar wilayah telah terbakar beberapa kali dari tahun 1997 hingga 2013 selama musim kemarau musim panas. Untuk mengamati kondisi kebakaran gambut yang sebenarnya, kita sekarang menggunakan sistem video termal (TVS) untuk mengukur penyebaran api gambut. Profil suhu yang terlihat dari kebakaran besar yang sebenarnya di area eks PLG pada 15 September 2004 diamati dengan TVS.

Pengamatan pertama menunjukkan bahwa suhu di zona kebakaran gambut berkisar antara 100 hingga 500oC. Suhu sekitar 500oC adalah suhu pembakaran gambut yang menyala dan bertepatan dengan suhu bercahaya yang diamati dari TG-DTA (Usup dkk 2004). Suhu yang lebih rendah berada di garis depan (batas), di mana itu sekitar 125oC, tepat di atas titik didih air. Dalam situasi ini, kandungan air gambut umumnya akan menguap, setelah lapisan gambut akan mulai menyala, batas suhu yang lebih rendah ini dapat disebut sebagai zona pemanasan awal (Rein dkk. 2008), ini adalah situasi bersamaan dengan itu di pusat area pembakaran, di bagian tengah, suhu yang direkam oleh TVS lebih tinggi mulai dari 300 hingga 500oC.

Gambar 1 .Gambar infra red (IR) kondisi kebakaran gambut di Desa
Tumbang Nusa (atas). Gambar yang diambil oleh kamera
biasa (kiri) dan kamera termal (kanan).

Di zona pusat ini tempat pembakaran menyala terjadi juga akan ada pelepasan panas dan asap dalam jumlah besar. Pengamatan pada
Gambar 1. menunjukkan suhu di pusat pembakaran hanya sekitar 350oC. Hal ini karena aktivitas kebakaran di daerah ini telah berusaha untuk dipadamkan oleh petugas pemadam kebakaran dengan injeksi air. Sebagai bukti, pinggiran suhu membara diperiksa menggunakan Thermo Perekam TR-81 menunjukkan kisaran 25-30oC. Kondisi menunjukkan basah tapi masih membara hidup selama beberapa minggu kemudian.

Deskripsi sifat fisik gambut setelah mengalami kebakaran berulang adalah kematangan gambut dari keenam lokasi contoh adalah cukup beragam dari saprik (lanjut) sampai fibrik (muda). Kebergaman kematangan gambut cenderung secara vertikal, dimana bagian permukaan memiliki kematangan saprik. Material gambut Saprik tersebut didominasi bahan gambut yang sudah melapuk dan memiliki tekstur mirip tanah mineral serta memiliki warna dari coklat muda ke hitam (Andriesse, 1988).

Namun, kadar air pada lokasi penelitian tergolong masih tinggi, dimana rata-rata memiliki berkisar antara 100-200 %. Kadar air tertinggi terdapat pada Desa Tumbang Nusa yaitu mencapai 400% meskipun sampel diambil pada saat musim kering. Hal ini berhubungan dengan kondisi gambut yang cukup lembab di lokasi tersebut. Ini merupakan fenomena yang cukup menarik karena pada lokasi tersebut terjadi kebakaran yang cukup parah.

Sementara itu, berdasarkan pengamatan pada lokasi di Palangka Raya dan Dadahup cenderung telah terjadinya kondisi kering tak balik (irreversible drying). Ciri-cirinya adalah ditemukan banyak pasir semu (pseudosand) yang akan mengambang jika dimasukkan ke air. Kondisi ini sebagai akibat dari menurunnya gugus karboksilat (COOH) dan OFH-fenolat sehingga gambut pada 0-20 cm menjadi sangat kering (Azri, 1999; Yulianti dkk, 2010).

Gambar 2 . Profil suhu kebakaran pada permukaan gambut (0 -50 cm)

Pengamatan perubahan suhu pada lapisan gambut telah dilakukan selama periode kebakaran pada peristiwa kebakaran tahun 2012. Dalam penelitian ini, IR-gambar dari api gambut 0-50 cm diklasifikasikan menggunakan beberapa kategori untuk menunjukkan variasi suhu lapisan gambut seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2. Dari ekstrem tinggi ke suhu tinggi terjadi sebagian besar di kedalaman melebihi 20 cm di bawah tanah. Di sisi lain, suhu rendah terjadi di permukaan tanah. Ini adalah salah satu alasan mengapa kebakaran gambut sangat sulit untuk diakui oleh mata telanjang. Di beberapa daerah, kami sulit untuk menemukan asap dan radiasi panas di permukaan sebagai tanda kebakaran gambut, terutama setelah hujan atau injeksi air oleh petugas pemadam kebakaran.

Sekilas Tentang Proyek Eks PLG Kalimantan Tengah

Sekilas Tentang Proyek Eks PLG Kalimantan Tengah

Proyek Proyek Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah, melalui Instruksi Presiden tanggal 5 Juni 1995 tentang Ketahanan Pangan dan Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah, diarahkan untuk mengkonversi hutan rawa gambut yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan dan melanjutkan swasembada beras nasional yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984, bahkan diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian yang lebih besar (Noor, 2001).

Kebijakan pengembangan PLG di Provinsi Kalimantan Tengah, penyelanggara utamanya adalah Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Transmigrasi dan Departemen Pertanian. Pemerintah Orde Baru (Orba) melakukan investasi besar dalam membangun saluran irigasi. Kawasan ini kemudian dibagi menjadi 4 (empat) blok yaitu A, B, C, dan D, dengan luasan 1.133.607 ha. Satu blok dikususkan untuk konservasi hutan rawa gambut yaitu blok E. Selama kurun waktu satu tahun telah dibuat saluran primer induk (SPI) sepanjang hampir 200 km yang menghubungkan Sungai Kahayan dan Sungai Barito dan saluran primer utama (SPU) sepanjang hampir 1,000 km yang menghubungkan blok-blok didalam PLG (Puslitanak, 1998). Selanjutnya ratusan kilometer dibangun saluran primer sampai tersier untuk keperluan irigasi dan drainase persawahan.

Kawasan PLG merupakan hamparan tanah gambut dengan kedalaman bervariasi dari dangkal sampai sangat dalam (kubah). Tanah-tanah yang dijumpai di areal Eks-PLG adalah jenis Tropohemist, Sulfihemist, Troposaprist adalah kelompok tanah gambut, Fluvaquent, Quartzipsamment (kelompok tanah alluvial atau potensial), Sulfaaquept, Sulfaquent (kelompok tanah Sulfat Masam). Tetapi sebagian sudah terjadi overdrain akibat banyaknya jaringan kanal. Penyebaran gambut tebal (>3 m) terutama di Blok C, sebagian di Blok B dan Blok A. Gambut tebal tersebut diarahkan sebagai kawasan lindung dan perlu di konservasi. Selain itu dijumpai juga tanah sulfat masam pada seluruh wilayah kerja Proyek PLG, dimana yang paling luas adalah di Blok D (Tim Kaji Ulang, 1998).

Kedalaman Sulfidik di daerah ini menurut hasil kajian Deptan (2006), bervariasi yaitu dari dangkal (0–50 cm), sedang 50–100 m, dan dalam >100 m. Tetapi sebagian besar kubah dan gambut sudah terjadi overdrain akibat banyaknya jaringan kanal. Kadar air tanah biasanya ditentukan oleh curah hujan dan tingkat evapotranspirasi – aliran air tanah relatif terbatas. Pembangunan sistem saluran secara besar-besaran dan penebangan hutan mengakibatkan terjadinya degradasi dan telah merusak mikro-topografi. Muka air tanah akan sangat bervariasi, dimana saat hujan banyak area yang tergenang tetapi saat kemarau kondisi menjadi sangat kering.

Proyek ini tidak berhasil dengan baik karena wilayah percontohan seperti daerah Lamunti dan Dadahup di Kabupaten Kapuas ternyata kurang memberikan hasil yang memuaskan. Akhirnya dicabut pada tahun 1998 dengan dikeluarkanya Kepres No. 80 Tahun 1998. Kemudian pemerintah mengeluarkan Inpres No. 2 Tahun 2007 tentang percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah. Implementasi rencana induk yang disusun mengalami kendala karena masih terbatasnya dana dan pengetahuan tentang pengelolaan gambut yang berkelanjutan.

Saat ini, penggunaan lahan gambut eksisting di eks PLG terdiri atas 6 (enam) tutupan lahan dominan, yaitu lahan rawa tanpa vegetasi besar, perkebunan dan kebun campuran. Selanjutnya tutupan lahan yang cukup luas adalah sawah, semak belukar dan lahan terbuka non rawa.

Kanal dan Daerah Rawan Kebakaran di Kawasan Eks Proyek Lahan Gambut

Kombinasi dari perusakan hutan, pembukaan lahan dan peristiwa iklim El Nino yang sangat parah pada tahun 1997 menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut yang paling parah yang pernah dikenal di wilayah ini. Polusi udara terburuk karena kabut dari api masuk sejarah Asia Tenggara, terjadi selama yang terkuat El Nino acara 1997-98, yang merupakan El Nino terkuat sebelum 2011, Kabut padat menyebabkan polusi udara ini dirilis terutama dari hutan dan kebakaran gambut di Indonesia (Heil dkk., 2006). Page dkk (2002) memperkirakan bahwa 810 – 2570 Mt karbon dipancarkan selama insiden kebakaran tinggi pada tahun 1997.

Sejak itu, daerah ini merupakan tempat yang paling rawan kebakaran dibandingkan wilayah lainnya di Kalimantan bahkan Indonesia, dengan minimal 5.000 hotspot per tahun. Di bawah kondisi sangat kering akibat peristiwa El Nino yang ditandai dengan ONI (Oceanic Niño Index) lebih besar dari +0.5, kejadian kebakaran terparah selama 10 tahun terakhir dengan >1.000 hotspot terjadi di lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas serta Barito Selatan (Putra dan Hayasaka 2011, Yulianti dan Hayasaka, 2013, Yulianti dkk, 2014).