Remaja dan Seks

Posted by Restorasi Gambut on

Kebanyakan kita berharap dicintai,
Tidak hanya untuk dimanjakan,
melainkan juga untuk dipahami,
dipelihara dan dihormati.
Kita berharap bisa mempercayai.
Jika hanya punya sedikit pengetahuan,
kita belum mengetahui dusta manusia :
dusta kata-kata, gerak gerik mata, dan
ekspresi wajah seseorang.
Bagaimana anak dapat dipersiapkan
menjadi manusia yang mampu
mengetahui tentang dusta ?
(Ketum PW PII Riau)

Oleh : Hengki Irawan, MS (Ketua Umum PW PII Riau 08-10)
Disampaikan pada Seminar Pendidikan SMP/SMA sederajat oleh PD PII Siak, 21 Mei 2009 di Perawang, Siak

”Seks” Tabu dan Ditabukan




Pendahuluan
Perilaku remaja seringkali dijadikan acuan terhadap adanya perubahan yang menyangkut norma-norma dan budaya masyarakat. Termasuk pula ketika orang mulai menyoroti masalah yang paling berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai mahluk yang selalu berkembang (generatif) yaitu masalah seksualitas. Sudah sedemikian banyak penelitian baik secara kwantitatif maupun kwalitatif yang menyimpulkan bahwa perilaku seks remaja kita sudah semakin permisif (salah satu contohnya, baseline survey oleh UI-1996) Tingginya tingkat kehamilan di luar nikah yang berhubungan secara positif dengan tindakan aborsi menjadi bukti yang sulit dibantah. Terlepas dari banyaknya anggapan (terutama dari futurolog Barat) yang mengatakan bahwa telah terjadi perubahan fungsi seksual dari prokreasi ke rekreasi, orang mulai menyadari adanya pergeseran norma seksual pada kaum remaja.

Remaja Kita Yang Lalu dan Kini
Tidak banyak yang diketahui remaja mengenai pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi dari orang tua atau pun guru (Sudagijono dkk, 2001). Kondisi tabu yang ada membuat para orang tua menjadi sulit berbicara mengenai seksualitas dengan anak-anak mereka. Menyinggung masalah seks sedikit saja sudah dianggap vulgar. Mereka menganggap bahwa pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi tidak perlu diajarkan karena para remaja akan mengetahui dengan sendirinya seperti halnya kondisi biologis itu sendiri. Banyak juga para orang tua/guru yang berpendapat bahwa remaja memang belum waktunya untuk mengetahui perihal seks karena usia perkawinan mereka yang masih terlalu jauh untuk itu. Ditambah adanya kekhawatiran bahwa pengajaran pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi pada anak didik justru akan menjadikan mereka penasaran dan kemudian mencoba-coba. Karena kedua hal itulah kemudian para orang tua bahkan menghambat atau memutuskan akses pengetahuan seksual pada remaja. Mereka menjadi marah dan memberikan penjelasan yang salah jika mengetahui remaja-remaja mereka menonton atau membaca buku-buku porno. Akibatnya, pengetahuan remaja mengenai perilaku seks yang benar pun menjadi sangat kurang. Minimnya pengetahuan remaja tentang seks sudah jelas dapat kita lihat dalam pertanyaan-pertanyaan yang sering kali mereka lontarkan dalam kolom-kolom konsultasi seks yang ada di surat kabar. Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang lucu (atau lugu ?) baik dari remaja putra maupun putri yang selalu berkaitan erat dengan isu-isu pengetahuan seks yang ada. Dari sinilah sebenarnya kita menghadapi sebuah kenyataan yang pahit. Ketika dorongan hormonal pada remaja begitu kuat (ini sebenarnya membuktikan bahwa sebenarnya mereka sudah siap untuk melakukan hubungan seksual) pengetahuan mereka tentang seksualitas sedemikan minimnya (Hurlock, 1980). Akibatnya tidak dapat disalahkan sepenuhnya bahwa mereka melakukan kegiatan seksual yang menyimpang karena ketidaktahuan dan coba-coba.
Perilaku seks remaja menjadi semakin permisif manakala secara fisiologis mereka sudah siap untuk melakukan hubungan seksual tapi tidak secara psikologis. Pandangan bahwa kondisi emosi remaja masih labil membuat masyarakat membentuk norma usia perkawinan yang jauh di atas usia pubertas (25 tahun ke atas). Penundaan ini tentu bukannya tidak mengakibatkan apa-apa. Dorongan libido yang begitu besar harus membuat mereka berperilaku “aneh” tanpa berpikir panjang. Itulah sebabnya jika dahulu masturbasi sangat dilarang (setidaknya oleh kalangan dokter) karena dapat menyebabkan terbentuknya pola kebiasaan maka sekarang tampaknya lebih dapat diterima. Sama halnya seperti penggunaan kondom untuk mencegah penyebarluasan penyakit AIDS. Meski secara halus tampaknya melegalkan sexual premarital (sex yes, AIDS no !!, kita mau apinya tapi ogah terbakar) namun toh pilihannya bukan mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi mana yang buruk dan mana yang lebih buruk lagi ( mungkin inilah yang menyebabkan Bp. Masri Singarimbun begitu gencar mengkampanyekan penggunaan kondom guna mencegah AIDS). Memperbanyak aktivitas terutama berolah raga jelas sangat dianjurkan. Meski begitu, tampaknya tidak mudah bagi para remaja untuk mengendalikan dorongan seksualnya.
Dorongan untuk melakukan hubungan seksual pranikah ini jelas bukan saja melulu karena sebab-sebab di atas. Banyak stimulus di lingkungan ini tampaknya menjadi penyebab terbesar yang mendorong dan melegalisasi perilaku seksual remaja. Iklan di TV, film, foto-foto di majalah, situs-situs di internet jelas menunjukkan bahwa budaya media kita sudah semakin sexual minded (ini pula yang kemudian memunculkan kontroversi tentang batasan pornografi). Dalam dunia periklanan penggunaan wanita yang cantik dengan penampilan yang seksi merupakan daya tarik tersendiri. Orang mencoba menghubungkan antara produk dengan daya tarik wanita (meski secara logika tidak semua produk berkaitan dengan wanita namun harus diakui bahwa perilaku membeli tidak selalu didasarkan atas pertimbangan rasional ). Apalagi dalam suatu penelitian di bidang periklanan diketahui bahwa baik pria maupun wanita lebih suka/tertarik dengan foto-foto wanita dibanding foto pria.
Pengaruh peer group dalam hal ini jelas tidak dapat diabaikan. Karena sifat menutup diri dari orang tua maka anak akan berusaha mencari penjelasan di luar lingkungan keluarga, yang dalam hal ini adalah kelompok sebaya mereka. Yang menjadi masalah sekarang seberapa akurat kebenaran pendidikan seksual yang “disharingkan” oleh remaja dalam kelompoknya. Besarnya pengaruh negatif dari kelompok pun sudah pasti ada. Bahkan dalam penelitian diketahui bahwa banyak remaja pria siswa sekolah menengah telah melakukan hubungan seksual pra nikah dengan tujuan tidak hanya sekedar mencari kepuasan seksual melainkan juga sebagai bukti keperkasaan agar diakui kelompoknya. Stimulus lain yang juga berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja adalah semakin banyaknya contoh-contoh buruk dari perilaku seksual orang dewasa (bisa jadi orang tua, pendidik, pejabat, bahkan tokoh agama sekalipun). Apalagi dengan maraknya tempat-tempat seperti diskotik, pub, lokalisasi pelacuran (bahkan kita punya yang berkelas internasional seperti lokalisasi Dolly di Surabaya dan Kramat tunggak di Jakarta). Dalam sektor pariwisatapun sering kita dengar semboyan S3 (sun, sand, and sex). Semua ini menunjukkan bahwa jika kita berbicara mengenai perilaku seksual remaja yang semakin permisif, maka sebenarnya ini menyangkut adanya perubahan / pergeseran norma dan budaya secara menyeluruh.
Pendekatan Humanistik Dalam Promosi KRR
Sangat sulit rasanya (bahkan boleh dibilang tidak mungkin) bagi para pendidik dan orang tua untuk mencegah terjadinya pergeseran fungsi sex ini. Namun jelas yang harus dilakukan saat ini adalah menyiapkan para remaja tersebut agar mereka dapat mensikapi segala perubahan ini secara benar. Sudah banyak usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Depdikbud, Depag, Depkes, Dinkes, Depsos sampai ke tingkat Pemda dan BKKBN bekerja sama dengan LSM/organisasi baik di dalam maupun luar negeri untuk mempromosikan masalah Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) ini. Pendekatan yang bersifat interdisipliner baik dari segi sosial, budaya, dan pendidikan banyak digunakan. Pendidikan seksual sudah waktunya untuk diberikan secara terbuka. Tidak hanya dalam lingkup keluarga namun juga dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Karena sejak awal waktu yang dihabiskan seorang anak lebih banyak di rumah maka tentu saja peran keluarga menjadi besar. Dan memang sebetulnya pendidikan seksual di dalam keluarga haruslah dimulai sedini mungkin. Ketika seorang anak mulai menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas, itulah saat yang paling tepat bagi orang tua untuk mulai membangun komunikasi yang sehat perihal seksualitas dengan anak. Tidak ada yang tabu untuk hal ini. Yang ada adalah bagaimana cara agar orang tua dapat menjelaskan kepada anak-anak mereka dengan cara yang sederhana dan logis sesuai dengan tingkat usia mereka dan dalam bahasa yang tidak vulgar. Tentu saja dalam hal ini juga harus diimbangi dengan kemampuan orang tua dalam mengajarkan etos seksual ini secara baik. Itulah sebabnya pendidikan seksual yang sering diberikan baik oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun badan-badan pemerintah (biasanya yang bergerak dalam bidang keluarga berencana ataupun pencegahan penyakit seksual) tidak hanya ditujukan pada kaum remaja tetapi juga pada orang tua.
Pendidikan seks yang benar adalah pendidikan seks yang dapat menjelaskan kepada para remaja mengenai seksualitas dalam dimensinya yang ternyata sangat luas, yang dapat memadukan antara pengetahuan, perilaku seksual dan komitmen/akibat yang akan dicapai, antara emotional attachment (cinta dan nafsu) dengan tanggung jawab yang harus dipikul. Masalah tanggung jawab ini menjadi sangat penting untuk disadari terlebih ketika remaja melakukan hubungan seksual pranikah. Artinya segala konsekwensi negatif dari hubungan seksual yang bersifat rekreasi semata harus benar-benar dipahami baik oleh remaja putra maupun putri. Sementara itu pengetahuan seksual yang bernuansa pada kesadaran gender (Monks dkk, 1994) sangat baik jika diberikan pada kaum putri. Diharapkan pendidikan gender ini dapat meningkatkan daya terima dan kepercayaan diri mereka terhadap peran seksual yang ada. Akibatnya mereka dapat lebih mandiri dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan masa depan sendiri. Mereka dapat saja mengatakan “tidak” untuk perilaku sex pranikah dengan didasari atas pengetahuan yang benar. Kesadaran bahwa wanita akan lebih banyak menderita kerugian secara seksual seperti lebih mudahnya terkena penyakit kelamin dan AIDS serta resiko kehamilan akan menjadikan mereka lebih asertif. Belum lagi adanya sanksi sosial yang berasal dari keluarga, sekolah, dan masyarakat atas segala perilaku seksual mereka.
Beberapa hal yang mungkin dapat diberikan dalam pendidikan seksual yang bersifat basic humanism adalah bahwa para orang tua/guru mulai sekarang dituntut untuk dapat membebaskan remaja mereka dari segala macam manipulasi seksual. Pertama, menyangkut situasi pornografi yang ada di sekeliling kita. Begitu banyak gambar/film-film porno mulai dari blue film sampai dengan hentai (yang ini agak halus/tersamar) yang beredar saat ini. Untuk mendapatkannya pun relatif mudah. Sebenarnya yang menjadi masalah bukanlah barang porno itu sendiri ataupun mengapa para remaja (bahkan sebagian besar dari kita, orang-orang dewasa) menyukainya. Namun yang harus dijelaskan oleh para orang tua terhadap remaja bahwa seksualitas manusia hendaknya tidak dipersempit oleh pandangan yang hanya tertuju pada kecantikan badan dan kepuasan genital saja. Seperti halnya keping uang bermata dua meski diakui bahwa film-film pornopun mempunyai manfaat positif namun harus disadari juga segi negatifnya. Bahwa apa yang ditampilkan dalam blue film tidak ada dalam kenyataan karena cenderung bersifat melebih-lebihkan. Jika seorang pria menuntut agar pasangannya bertingkah laku seperti apa yang ia lihat dalam blue film, ia berarti lupa bahwa apa yang dilakukan oleh wanita dalam film tersebut adalah khayalan sedang wanita pasangannya adalah seorang wanita terhormat yang nyata.
Kedua, para orang tua/guru harus dapat memberikan kepercayaan kepada anak-anak mereka untuk mendapatkan teman hidup yang telah mereka pilih. Para remaja tersebut haruslah dibebaskan dari fanatisme baik dalam hal suku, agama maupun ras. Adanya persamaan mungkin mendukung suatu kebahagiaan perkawinan, namun jelas ini tidak menjamin.
Ketiga, adanya pandangan bahwa setiap orang yang normal haruslah menikah. Ada kesan kuat bahwa salah satu tujuan hidup manusia adalah perkawinan. Akibatnya tanpa dapat membedakan antara like and love tanpa kita sadari sering kali kita menjadikan perkawinan sebagai lembaga yang syah untuk melegalisasi perilaku seksual kita. Fungsi seksual baik sebagai prokreasi maupun rekreasi harusnya dicapai dalam relasi seksual yang didasarkan atas rasa cinta dan tanggung jawab. Para orang tua dapat menjelaskan kepada remaja bahwa hubungan seksual yang bersifat rekreasi dan dilakukan hanya atas dasar like and dislike lama kelamaan hanya akan membuat hambar relasi seksual yang ada. Hal ini sama seperti yang terjadi di negara-negara maju di Eropa dan Amerika saat ini. Kondisi yang memudahkan terjadinya hubungan/relasi seksual dalam waktu yang singkat telah membuat sebagian orang-orang dewasa mengalami kejenuhan. Adanya kebosanan tersebut membuat mereka takut karena ketidakmampuan menjalin lagi relasi seksual yang ada secara sehat.
Akhirnya kembali pada pergeseran norma yang ada, sudah siapkah para orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat kita bersikap lebih terbuka terhadap bentuk-bentuk promosi yang mengajarkan etika seksual secara lebih terbuka (atau konfrontatif ?) terhadap budaya yang ada kepada para remaja ? Hal ini disebab karena di satu sisi tabuisme dan nilai-nilai budaya timur masih melingkupi pendidikan seksual kita namun di sisi yang lain lingkungan kita secara munafik telah menghadirkan seribu satu macam stimulus seksual. Kalaupun kemudian kita telah memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak tersebut, sudah mampukah kita memberikan kepercayaan kepada mereka untuk berperilaku sesuai dengan masa depan yang ingin mereka capai ?. Semuanya itu tentu saja kembali kepada kesiapan masyarakat kita sendiri.

Previous
« Prev Post