Emisi kebakaran CO2 adalah
sumber CO2 atmosfer yang penting dan berkontribusi secara substansial terhadap
efek rumah kaca global. CO2 merupakan gas tidak berwarna, tidak berbau dan gas
asam yang ringan. Karbondioksida disebut juga gas asam karbon, sering disebut
udara campuran. Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari
seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0,04% dalam basis molar secara
alami), namun ia memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Jika
keberadaannya yang tidak seimbang akan membuat fenomena alam yang mampu merusak
bumi seperti melubangi lapisan Ozon, efek rumah kaca, cahaya & panas matahari
yang masuk kebumi tidak dapat di lepas ke luar angkasa secara kosmik,
meningkatkan suhu bumi secara global beberapa derajat sehingga bisa mencairkan
es kutub sehingga meningkatkan permukaan air laut. Indonesia adalah salah satu
penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, terutama karena konversi hutannya
dan kebakaran lahan gambut yang kaya karbon (Gambar 1).
Gambar 1. Total Emisi termasuk dari Perubahan Penggunaan Lahan
dan Kehutanan di 5 negara emiter (RRC, AS, EU, India,
Indonesia).Emisi Indonesia pada tahun 2014 sebesar 2 470
MtCO₂e. (Sumber peta: http://cait.wri.org/)
|
Oleh karena itu, the 2ndWorld Parliamentary Forum
On Sustainable Development (WPFSD) 2018, delegasi Indonesia
menyampaikan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi CO2 sampai 26 persen
dari tingkat 2005 pada tahun 2020 mendatang.
Gambar 2. Estimasi emisi karbon dari kebakaran tahunan di Equatorial
Asia (Indonesia dan sebagian Malaysia dan Brunai Darussalam)
|
Kebakaran hutan dan lahan pada saat 2015 merupakan salah satu sumber terjadinya emisi CO2 berkontribusi besar meningkatkan konsentrasi emisi di Indonesia (Gambar 2). Pasca 2015, beberapa peneliti mencoba menduga emisi CO2 pada tahun 2015 berdasarkan pendekatan area terbakar dan data pemantauan satelit serta model global. Gambar 3 menunjukkan bahwa mayoritas emisi kebakaran 2015 di Indonesia berasal dari kebakaran gambut, sekitar lebih dari 50% (van der Werf dkk, 2017). Menurut Huijnen dkk (2016),dan Nechita-Banda dkk (2018), emisi C dari karhutla di Indonesia adalah lebih dari 600 Tg CO2 selama bulan September - Oktober 2015, sedangkan Kalimantan (termasuk sebagian Sulawesi) termasuk wilayah yang paling tinggi melepaskan CO dibandingkan Sumatera dan bagian timur Indonesia lainnya, berkisar 0.5 - 2 Tg CO per hari.
Gambar 3. Konsentrasi CO2 tahun 2014 -2018
(sumber:https://www.bmkg.go.id/)
|
Hal ini sejalan dengan penelitian
Yulianti dan Hayasaka (2013) sebelumnya yang menunjukkan bahwa daerah yang
paling rawan kebakaran di Indonesia adalah mayoritas area lahan gambut di
bagian selatan Kalimantan. Haris dkk (2015) juga menunjukkan bahwa Kalimantan
Tengah termasuk dalam 3 (tiga) besar provinsi yang memiliki tingkat emisi tertinggi
di Indonesia, dimana lebih dari 90% berasal dari sektor yang berbasis lahan.
Menurut beberapa data, konsentrasi
CO2 mengalami peningkatan di atmosfer. Karbon dioksida adalah bahan kimia
khusus karena transparan untuk radiasi matahari dan menyerap radiasi infra
merah. Dengan demikian, keberadaan dioxode karbon di atmosfer kita memungkinkan
sinar matahari menembus ke permukaan tetapi menghambat emisi radiasi inframerah
ke ruang angkasa. Konsekuensi dari penyerapan radiasi inframerah oleh karbon dioksida
di atmosfer adalah bahwa Bumi jauh lebih hangat (Gambar 4).
Gambar 4. Dampak GHG Terhadap Pemanasan Bumi |
Keadaan ini bisa
memiliki arti positif atau negatif. Segi positifnya adalah suhu yang hangat
menyebabkan bumi tidak mungkin memasuki jaman es kembali. Contohnya, pada akhir
Zaman Es terakhir, 10.000 tahun lalu, karbondioksida di atmosfer naik drastis
saat suhu semakin menghangat. Tetapi poin negatifnya adalah suhu yang semakin
hangat bisa berakibat pada mencairnya es abadi di kutub dan berdampak pada
peningkatan muka air laut. Bahkan Notz & Stroeve (2016) mengungkapkan bumi
mungkin mendekati ambang CO2 untuk melelehkan es di Arktik dengan hilangnya beberapa
glacier.