Gambut
yang masih alami terdiri dari hampir 90% air dan 10% sisanya merupakan sisa
bahan tanaman yang membusuk (Jaenicke dan lain-lain, 2011), oleh karenanya
gambut dalam kondisi alami (belum terganggu) akan selalu dalam kondisi basah
dan lembab. Pada musim kemarau tanah gambut berfungsi sebagai lapisan penahan
air dan melepaskan air secara perlahan. Air gambut tampak berwarna hitam kecoklatan,
karena akibat terendamnya bermacam–macam bahan organik yang cukup lama pada
lahan gambut.
Lahan
gambut mempunyai sistem hidrologi yang cukup unik, karena ada beberapa sungai pada
lahan gambut yang justru berhulu pada lahan gambut itu sendiri, contohnya
Sungai Sebangau di Kalimantan Tengah. Sumber air pada sungai Sebangau tidak
berasal dari hulu sungainya, melainkan dari lapisan tanah gambut di sepanjang
sungai tersebut, karena itu berbeda dengan sifat sungai pada lahan non-gambut.
Drainase Buatan di Lahan Gambut (Sumber : Globalplanet.news) |
Gangguan
ekosistem gambut umumnya dipicu oleh kegiatan penebangan kayu (logging),
alih guna lahan (konversi) ke peruntukan lain (pertanian, perkebunan dan
transmigrasi) yang disertai dengan pembangunan jaringan kanal drainase secara
berlebihan (Dohong, 2016). Akibatnya gambut mengalami kekeringan dan rentan
terbakar. Penebangan hutan rawa gambut dan pembangunan drainase buatan (kanal,
parit) di lahan gambut menyebabkan air di lahan gambut terkuras secara berlebihan
sehingga menyebabkan gambut sulit untuk dibudidayakan dan kering serta mudah
terbakar.
Secara
spefisik, pembangunan jaringan kanal drainase di ekosistem gambut akan meningkatkan
laju aliran air keluar (run off)
dan menurunkan daya simpan (retensi) air pada ekosistem gambut. Kondisi ini
akan menyebabkan muka air gambut turun drastis dan gambut akan mengalami
kekeringan dan rentan terbakar yang berpotensi menimbulkan bencana kabut asap
dan peningkatan pelepasan gas karbon dioksida (CO2) ke udara.
Kondisi
ini dapat memicu peningkatan emisi gas rumah kaca (greenhouse
gases) yang berdampak pada perubahan iklim global. Dampak lain
dari penurunan muka air gambut adalah meningkatnya laju pengamblesan (subsiden)
akibat adanya oksidasi, konsolidasi dan pemadatan (kompaksi) gambut (Hooijer
dkk, 2012; Rydin & Jeglum, 2013). Peningkatan laju amblesan gambut akan berpotensi
meningkatkan bahaya banjir dalam jangka panjang dan menyebabkan lahan gambut
tidak produktif.
Konversi,
pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut secara ekstensif dan intensif di Indonesia
pada beberapa dekade terakhir disebabkan oleh:
- Peningkatan permintaan kebutuhan lahan untuk pengembangan industri perkebunan dan kehutanan;
- Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat;
- Perluasan pemukiman melalui program transmigrasi dan lain-lain;
- Persepsi sebagian orang bahwa lahan gambut itu berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan kendatipun produktivitas lahannya rendah; dan
- Pembangunan infrastruktur dalam rangka peningkatan aksesibilitas di kawasan kawasan gambut.