Perbandingan Mahzab

Posted by Restorasi Gambut on

PERBANDINGAN MAZHAB

Oleh: Ust. Izuddin Karimi, Lc.

Tujuan kajian ini adalah untuk menghindari ta’asub (fanatik) buta, sehingga tidak terjadi friksi dengan pihak/golongan lain. Pada prakteknya ternyata memang banyak friksi di lapangan yang seharusnya tidak mesti terjadi. Hal ini karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi yang benar tentang mazhab2 yang ada.

Ada beberapa hal yang perlu disampaikan, Pertama, dalam Islam terdapat empat mazhab fiqih yang terkenal. Urutannya: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Inilah mazhab yang terkenal dalam fiqih Islam. Kedua, walaupun sudah ada ada empat mazhab tidak berarti bahwa semua syariat Islam itu telah dibicarakan oleh ke empat mazhab tersebut. Ini berarti, belum tentu pendapat di luar empat mazhab itu secara otomatis salah. Salah atau tidak mesti menggunakan pijakan dan patokan yang sudah disepakati yaitu quran dan hadits. Ketiga, barangkali ada baiknya ikhwanfillah mengetahui, mengapa hanya empat mazhab? Karena hanya empat mazhab yang lolos dari seleksi alam. Mengapa bisa lolos, sebab imam2 dari ke empat mazhab ini mempunyai pengikut2/murid2 yang rajin mencatat perkataan imamnya yang terus-menerus diwariskan hingga sampai kepada kita. Imam2 yang diwariskan ilmu dari imam yang empat itu belum tentu kadarnya keimanannya di bawah imam yang empat, banyak diantaranya yang juga sangat pandai. Namun pendapat2 mereka akhirnya dinisbatkan kepada pemberi pendapat yang yang pertama, yaitu imam yang pertama.

Semua imam mazhab sepakat bahwa pijakannya tetap Quran dan Hadits, ucapan mereka tentang ajakan untuk kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadits, walaupun dengan redaksinya berbeda2. Maka seperti imam Syafi’i pernah mengatakan: “jika sebuah hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.” Amatlah mungkin imam yang empat itu tidak mengetahui adanya hadits shahih selain pendapat (ra'yu) yang mereka miliki. Karena sarana/prasarana saat itu masih belum semodern sekarang. Jadi sangat mungkin imam yang satu mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan hadits shahih. Imam Ibnu Tayimiyah mengatakan, “Amatlah mungkin hadits tersebut pada waktu itu belum sampai ke telinga sang Imam. Para perawi hadits nabi jumlahnya sangat banyak dan tinggal tersebar di seluruh jazirah arab sehingga sang imam bisa saja tidak mengetahui hadits tersebut.” Kita yang hidup sekarang, harus bisa memaklumi. Biar bagaimanapun juga imam yang empat itu adalah manusia yang mulia yang kadar keimanannya tidak perlu diragukan lagi.

Sebagai contoh, Imam Malik mengatakan puasa 6 hari di bulan Syawal itu tidak ada anjurannya dari Rasulullah. Tetapi ternyata hadits tentang puasa sunnah yang diriwayatkan Imam Muslim ternyata hadits shahih. Kemungkinannya adalah Imam Malik belum mengetahui hadits itu pada saat mengeluarkan pendapatnya.

Sekarang mari kita renungkan, segala aktivitas amal kita, sholat, zakat, wudhu, haji, dll, pakai mazhab apa? Jawaban yang paling sering adalah: Tidak Tahu. Itu jawaban jujur, karena itu kenyataannya. Yang kita tahu bahwa ini berdasarkan hadits shahih Rasulullah SAW. Sebagai seorang muslim memang cukup sampai situ. Bila kita sudah tahu bahwa itu adalah hadits shahih, maka tidak ada tanggung jawab lagi itu mazhab mana, karena derajat pendapat imam mazhab lebih rendah dari hadits shahih. Seorang muslim hanya berkewajiban beramal berdasarkan ilmu yang sudah ia ketahui, bukan ikut2an.

Bermazhab itu bukan suatu hal yang wajib, tetapi kalau kita ingin memilih salah satu diantara empat mazhab, tidak ada satu mazhab yang lebih unggul dari mazhab yang lain. Semuanya setara dan sejajar. Ada sisi2 kuatnya dari suatu mazhab, ada pula sisi2 lemahnya. Kalau kita memilih salah satu, dengan niat untuk mengamalkan, maka silakan beribadah dan beramal sesuai dengan mazhab itu. Cuma persoalannya,kita perlu menyadari bahwa mazhab fiqih itu adalah buatan manusia (ijtihad). Manusia tidak akan luput kesalahan/kekeliruan. Nah, sisi2 lemah ini hendaknya dihindari atau dijauhi.

Perpecahan terjadi di kalangan ummat Islam jauh dari zaman ke-empat imam itu hidup. Pada masa itu Ilmu Islam sudah pada masa jumud (kejenuhan) akibat banyak paham2 sempalan yang menimbulkan sekat2 antar mazhab. Ini yang tidak disadari oleh ummat muslim. Padahal perbedaan itu memang sangat memungkinkan, dalil2 yang dipakai oleh sang Imam ada sisi pembenaran karena memang informasi yang dimiliki oleh sang Imam tidak lengkap.

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang akan adanya kelompok Ali dan kelompok Muawiyah. Singkatnya Ali dan Muawiyah dalam sejarah pernah berselisih. Masing2 punya pendukung. Rasulullah memprediksikan hal ini dalam haditsnya, “Akan muncul kelompok pembangkang pada saat kaum muslimin berselisih yaitu antara Ali dan Muawiyah, kelompok pembangkang ini akan diperangi oleh satu dari dua kelompok dimana satu dari kedua kelompok ini lebih dekat pada kebenaran.” Artinya keduanya sebenarnya memiliki sisi kebenaran. Hanya saja yang satu lebih dekat kebenaran. Nah, dalam hal fiqih itu sama dengan kasus ini. Yang ada adalah pendapat2 Imam itu ada kebenaranya, namun ada satu pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Misalnya yang umum di masyarakat, batalnya tidaknya wudhu dengan menyentuh istri kita. Dalam masalah ini, banyak dalil2 yang dipahami batal, banyak pula yang dipahami tidak batal. Tetapi dari 2 atau 3 pendapat tersebut, pasti ada yang lebih dekat dengan kebenaran, dalam arti memiliki tambatan dalil yang paling kuat. Nah hakikat inilah yang sering tidak dipahami oleh kaum muslimin, sehingga sikap yang muncul adalah dalam kadar yang berlebihan.

Kemungkinan kebenaran dalam hal ijtihadiyah inilah yang menimbulkan pemahaman2 yang berbeda terhadap suatu dalil. Bila seseorang mengeluarkan pemahamannya itu, maka kita bisa pertimbangkan kemudian diterima atau ditolak. Diterima bila memang paling mendekati kebenaran. Ditolak bila sudah nyeleneh dan keluar dari koridor syar’i.

Sesi tanya jawab:

1. Bolehkah kita menggunakan 2 pendapat mahzab yang berbeda di situasi, kondisi dan tempat yang berbeda? Contohnya seperti kasus menyentuh istri setelah wudhu batal atau tidak. Saat ini kita menggunakan dalil batal, namun ketika kita naik haji, kita menggunakan dalil tidak batal.
Jawab: Tidak ada dalil yang melarang. Setiap orang memiliki kecenderungan, berat yang mana yang dia ambil. Seandainya dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kecenderungannya pasti dalam kondisi2 tertentu demi kemaslahatan, silakan ambil pendapat yang marjuh (yang lebih lemah menurut kita). Nabi memberi contoh tentang bangunan Ka’bah. Ka’bah yang sekarang ini tidak sama posisi pondasinya dengan yang dibangun Nabi Ibrahim. Pondasi Ibrahim lebih luas dari yang sekarang kita lihat. Jauh setelah masa Nabi Ibrahim, Ka’bah pernah diperbaiki oleh orang-orang Mekkah. Namun karena dananya tidak cukup, akhirnya dibangun lebih kecil ukurannya dari aslinya. Rasulullah bersabda kepada Aisyah ra, “Seandainya kaumku itu tidak dekat masanya pada kekafiran, niscaya aku akan menghancurkan ka’bah ini dan membangunkannya kembali di atas pondasi Ibrahim.” Maksudnya adalah, karena orang2 Mekkah setelah penaklukan Mekkah itu imannya masih labil, maka Rasulullah memilih tidak menghancurkan Ka’bah. Karena ditakutkan akan adanya fitnah, maka hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah. Inilah tuntutan kemaslahatan. Padahal itu bukan kecenderungan dan pilihan Rasulullah.
2. Bolehkah kita tidak mengikuti satupun dari ke-empat mazhab itu?
Jawab: Tergantung kondisi kita. Kalau kondisi kita seperti saat ini di Indonesia, maka jawabannya tidak boleh. Orang yang bisa lepas dari ke-empat mazhab maka dia sudah harus berada pada derajat Mujtahid. Kalau belum, dia masih berada pada derajat Muqallid. Bila seorang muqallid sudah mengeluarkan ijtihad, maka hasilnya adalah kehancuran. Jadi kita masih membutuhkan peranan para ulama yang mampu menjawab permasalahan yang ada berdasarkan keilmuannya. Mazhab yang empat ini dimaksudkan untuk mendekatkan fiqih yang berkaitan dengan kegiatan manusia sehari2. Memang tidak perlu saklek mengikuti hanya satu saja, tergantung kecenderungan dan kemantapan hati kita.
3. Ke-empat Imam mazhab hidup pada abad 2 Hijriyah. Antara masa Rasulullah dengan imam yang empat itu seperti apakah fiqih yang terjadi?
Jawab: Para sahabat, tabi’in atau tabi’ut tabi’in biasanya mempunyai majelis2 fatwa biasanya dihadiri oleh banyak orang. Sayangnya masih sedikit sekali orang2 yang mencatat fatwa2 imam saat itu.
4. Mungkinkah fiqih2 keseharian itu ditinggalkan saja, karena saat ini sepertinya sudah tidak relevan lagi kecuali fiqih ibadah?
Jawab: Tidak mungkin, karena permasalahan manusia semakin kompleks. Fiqih bukan ditinggalkan namun harus semakin dikembangkan. Seperti saat ini bagaimana fiqih tentang lembaga keuangan syariah (bank, asuransi) atau tentang donor darah, pembedahan cangkok organ, dll.
5. Saat ini amat sulit menemukan kitab2 fiqih khusus dari salah satu mazhab. Apakah kita boleh menggunakan kitab2 seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fiqih Sunnah, atau Fiqih2 Kontemporer lainnya untuk melakukan amaliyah harian?
Jawab: Buku2 pegangan mazhab secara umum masih tertulis dalam bahasa arab. Kenapa di Indonesia kita tidak melihat terjemahnya kami tidak mengetahuinya. Kita boleh mengikuti buku fiqih yang sudah beredar sekarang. Misalnya buku Fiqih Sunnah, sudah diterjemahkan, bahasanya mudah, aplikatif, cuma sayang masih ada beberapa hadits yang menjadi rujukan tidak dijelaskan perawinya. Yang perlu saya tekankan di sini adalah, anda perlu pembimbing. Dan pembimbingnya ini harus yang anda kenal baik, dan dikenal baik oleh orang lain dan tidak pernah mengeluarkan pendapat2 yang aneh.
6. Bagaimana sikap kita menyikapi ta’asuh buta (fanatik buta)?
Jawab: Setahu saya penyakit muncul dari sikap kultus individu (taqlid buta). Maka jangan pernah ta’asuh kecuali kepada Rasul SAW. Penyakit ini hanya bisa diobati dengan pendekatan personal yang intens dan mau tidaknya hati yang didekati itu terbuka.
7. Bagaimana menyikapi perbedaan fiqih?
Jawab: Tidak mungkin kita menyatukan perbedaan pendapat. Bila permasalahan itu adalah suatu kebenaran yang pasti seperti terbitnya matahari dari timur, maka bila ada perbedaan dapat didebat. Tetapi bila persoalan itu merupakan masalah ijtihadiyah, kita tidak bisa memaksakan pendapat imam A kepada pengikut imam B. Sikap toleransilah yang harus diutamakan di sini.

Previous
« Prev Post