Sebagai negara benteng terakhir penghasil oksigen, Indonesia patut berbangga sebagai negara dengan jumlah hutan yang luas—meski laju deforestasi juga mengkhawatirkan. Lebih mengejutkan lagi, berdasarkan hasil penelitian dari CIFOR, hutan mangrove Indonesia disebut menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare dibandingkan dengan hutan tropis. Belum lagi dengan produksi oksigen oleh lamun dan fitoplankton. Maka perlu dilakukan kegiatan revegetasi mangrove yang efektive dan efisien.
Selain berperan sebagai penghasil oksigen, mangrove juga sangat berperan dalam menjaga biodiversitas lingkungan, yang mana secara ekologi, mangrove berperan sebagai pendukung berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Selain itu, secara ketahanan dan keamanan negara, secara tidak langsung mangrove juga turut berperan, di mana mangrove berfungsi untuk menjaga garis pantai agar tidak terabrasi. Dengan struktur pengakaran yang unik dan khusus untuk beradaptasi dengan kandungan salinitas dan empasan gelombang, mangrove menjadi benteng utama yang menjaga agar kawasan pesisir tidak tergerus oleh gelombang.
Namun, kenyataan seringkali pahit. Berdasarkan data FAO (Organisasi Pangan Dunia, PBB) dalam tiga dekade terakhir, Indonesia sudah kehilangan 40% mangrove, yang berarti, Indonesia memiliki kecepatan kerusakan mangrove terbesar di dunia [1]. Menurut data yang dihimpun dari Biro Humas Kementerian LHK pada tahun 2015, Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia sebesar 3.489.140,68 Ha, dengan panjang garis pantai sebesar 95,181 km2 serta memiliki keanekaragaman hayati yang paling tinggi. Kalau diestimasikan, luas ekosistem mangrove Indonesia setara 23% ekosistem mangrove dunia yaitu dari total luas 16.530.000 Ha. Dari luas mangrove di Indonesia, diketahui seluas 1.671.140,75 Ha dalam kondisi baik, sedangkan areal sisanya seluas 1.817.999,93 Ha sisanya dalam kondisi rusak [2].
Tingginya kerusakan mangrove di beberapa daerah di Indonesia, setidaknya berhasil
membuat seluruh pihak—baik pemerintah, swasta, maupun perseorangan—bahu membahu
berjuang untuk menyelamatkan mangrove yang sudah telanjur rusak. Pemerintah dengan dana
APBN maupun pinjaman luar negri (terbaru pemerintah berupaya untuk menanami kawasan
pesisir yang terancam abrasi. Begitu juga dengan swasta maupun kelompok penyelamat
lingkungan.
Kendati demikian, upaya penanaman kembali atau rehabilitasi lahan mangrove yang sudah
rusak, ternyata tidak semudah dengan melakukan perusakan itu sendiri.
Kebanyakan, penanaman
mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak menemui kegagalan. Bibit mangrove yang
ditanami, tidak banyak yang bertahan hidup sampai dewasa. Logikanya, mangrove memang
mampu menahan gelombang—namun tentu saja itu adalah mangrove dewasa yang merumpun dan
zonasinya lengkap serta sehat. Hal itu tentu tidak akan berlaku bagi propagul alias bibit mangrove
yang baru tumbuh. Tentu saja ketika menanam bibit mangrove tanpa ada penahannya akan
mengakibatkan bibit tersebut hanyut terbawa gelombang.
Untuk mengatasi hal ini, akhirnya upaya penanaman mangrove di lahan kosong, seyogyanya
membutuhkan alat pemecah ombak (APO) untuk menggantikan peran mangrove dewasa sebagai
penahan dan pemecah gelombang, baik itu dengan berbagai struktur solid pemecah gelombang,
seperti tetrapod, batuan karang, maupun struktur lunak menggunakan hybrid engineering.
Pemanfaatan Nibung Sebagai Pagar APO
Nibung telah ditetapkan sebagai flora khas identitas Provinsi Riau. Pasalnya pohon ini sudah
lama menyatu dengan kehidupan masyarakat Riau. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa
tempat, yakni Tanjung Nibung, Teluk Nibung, yang mengabadikan nama tumbuhan tersebut.
Selain itu keterkaitan ini tampak pula dalam pantun ataupun ungkapan tradisionalnya.
Pemanfaatan nibung Sebagai Pagar APO telah diterapkan di Desa Pangkalan Jambi,
Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Pemanfaatan nibung sebagai APO tergolong
berhasil dalam mencegah abrasi Pantai di Pangkalan Jambi, sekaligus berhasil melindungi
pertumbuhan Avicennia.
Keberhasilan Nibung sebagai APO dikarenakan sifat kayunya yang tahan lapuk (sampai
belasan tahun), kemudian tahan terhadap empasan gelombang.
Adapun spesifikasi nibung yang sudah bisa dijadikan APO adalah nibung dengan ukuran
minimal 4” (empat inci) atau dengan diameter kurang lebih 14-15 cm dan keliling sekitar 47 cm.
Untuk penggunaan Nibung sebagai Pagar APO batang dibung dibelah 2,sehingga untuk satu
batang Nibung dengan diameter 14 cm dapat membuat APO sepanjang 28 cm. Untuk mendapatkan
Pagar APO sepanjang 1 meter dibutuhkan 4 potong kayu nibung.
Ketinggian APO yang dipasang di Pesisir Desa Pangkalan Jambi yaitu setinggi 60 cm dari
permukaan lumpur, sedangkan yang tertanam didalam lumpur sepanjang 30-40 cm. Sehingga
untuk membuat Pagar APO sepanjang 1 meter dibutuhkan 4 Potong Nibung dengan Panjang
Potongan 1 meter.
Tabel. Perkiraan kebutuhan Biaya untuk pembuatan APO nibung sepanjang 1 meter:
Dengan pembangunan pagar APO dari Nibung sepanjang 100 meter disepajang bibir pantai,
berpotensi menanam 1000 batang bibit Avicennia yang terjamin tinggi pertumbuhannya. Namun,
tetap dibutuhkan kajian ilmiah terlebih dahulu terkait pasca pemasangan pagar APO, “Seberapa
lama waktu yang dibutuhkan agar subtrat lumpur media tanam terperangkap, sehingga
keberhasilan tumbuh Avicennia bisa terjamin”.
Gambar . Desain APO