Forum Koordinasi Masyarakat Sipil (FKMS) untuk penguatan ISPO kembali menyerukan Pemerintah untuk segera membenahi substansi draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO) serta memperbaiki proses penyusunannya menjadi lebih transparan dan partisipatif sebelum draft peraturan tersebut disahkan. FKMS menilai draft Perpres mengenai sistem sertifikasi mandatori tersebut masih belum memadai untuk memperbaiki tata kelola kelapa sawit, penyelamatan lingkungan hidup dan pemenuhan HAM serta memastikan keberterimaan pasar.
FMKS yang beranggotakan 40 lembaga masyarakat sipil yang fokus terhadap isu sawit di Indonesia ini mengapresiasi upaya Pemerintah untuk penguatan sistem sertifikasi ISPO dan terlibat langsung memberikan masukan. “Sejumlah masukan disampaikan kepada Pemerintah, untuk memastikan sistem sertifikasi yang sedang berproses ini kredibel dan dapat diterima dengan baik, di antaranya proses penyusunan draf dilakukan secara transparan dan partisipatif, standar ISPO (prinsip dan kriteria) yang kuat, proses sertifikasi dilakukan secara kredibel dan transparan, serta adanya mekanisme pengajuan dan penyelesaian keluhan yang dapat diterima para pihak” tutur Sri Palupi dari Institute for Ecosoc Right.
Okto Yugo Setiyo dari Jikalahari menambahkan, “Penghancuran hutan alam dan lahan gambut yang tak terkendali untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit harus dihentikan, sehingga penting sekali memastikan prinsip perlindungan terhadap hutan alam, lahan gambut dan keragaman hayati diadopsi dalam standar ISPO.”
Marcel Andri dari Serikat Petani Kelapa Sawit turut menambahkan, “ Penerapan sistem sertifikasi ISPO harus dibarengi dengan berbagai upaya untuk memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi pekebun swadaya yang belum tersentuh oleh kebijakan Pemerintah. Selain itu, pemberian insentif atau jaminan manfaat juga dapat mendorong pekebun swadaya mengikuti sertifikasi ISPO.”
Selain proses pembahasan dan penyusunan yang menjadi semakin tertutup sejak akhir 2017, FKMS menilai draf Perpres terkini telah menghilangkan beberapa substansi krusial yang diperlukan untuk memastikan sistem sertifikasi sawit keberlanjutan yang kredibel.
“Pengaturan tentang pemantauan independen terhadap sistem sertifikasi ISPO telah dihilangkan, demikian juga pengaturan mengenai pengajuan dan penyelesaian keluhan para pihak atas hasil sertifikasi. Jelas ini sangat berdampak buruk bagi kredibilitas sistem sertifikasi ISPO.” Demikan dikatakan Dhio Teguh Ferdyan dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK).
“Pengamatan kami di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang sudah bersertifikat ISPO pun masih melakukan berbagai pelanggaran terhadap standar ISPO. Karena standar ISPO berbasis peraturan perundang-undangan, maka ketidaksesuaian seperti ini harus ditindak. Sayangnya, draf Perpres ini tidak mengatur penegakan hukum terhadap temuan ketidaksesuaian yang merupakan pelanggaran tersebut.” tambah Agus Sutomo dari Link-AR Borneo.
Dalam draf Perpres tentang sistem sertifikasi ISPO ini, Kementerian Pertanian hanya diberikan waktu 90 hari untuk menyusun standar dan berbagai peraturan pelaksana sistem sertifikasi ini, yang dinilai FKMS sangat terbatas untuk bisa menghasilkan peraturan yang berkualitas, dikhawatirkan ini akan menghambat implementasi sistem sertifikasi ISPO.
“Sebelum disahkan, Pemerintah harus segera memperbaiki substansi dari draf Peraturan Presiden tentang sistem sertifikasi ISPO serta memperbaiki proses penyusunan kebijakan ini menjadi transparan, inklusif dan akuntabel. Karena kami yakin, bahwa hanya dengan cara ini sistem sertifikasi ISPO benar-benar dapat dikuatkan dan akan menghasilkan sistem sertifikasi yang kredibel, robust, akuntabel dan diterima seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dan juga pasar global.“ Tandas Abu Meridian dari Kaoem Telapak yang juga merupakan koordinator FKMS.